sastra



Mencari Wajah Ibu
Oleh Angel Li
Berjalan di bawah terik matahari sudah menjadi hal biasa bagi Tono. Setiap hari menghirup udara Jakarta yang selalu bercampur debu tebal dan asap knalpot adalah satu dari ciri kemiskinan hidupnya. Tono adalah seorang peminta-minta di sudut sebuah jalan di ibukota ini. Bersama beberapa orang yang lain dari berbagai tingkat umur, mereka menghabiskan sepanjang hari di sana, di dekat lampu merah. Terkadang mereka berteduh di bawah pohon atau sekadar duduk di samping trotoar. Tapi tetap saja, lampu merah terlalu penting untuk ditinggalkan jauh-jauh, karena benda itu selalu memberikan tanda kapan mereka harus beraksi atau pergi. Merah artinya jalan dan hijau artinya mundur.
Belakangan ini, bocah itu sering meneliti wajah-wajah yang lewat di hadapannya. Orang-orang yang berjalan kaki melewatinya atau pun yang duduk di dalam mobil-mobil yang ia ketuk kaca jendelanya. Tono sedang mencari ibunya, wanita yang melahirkannya. Entah ada di mana ia sekarang. Tono berharap bisa mengenalinya di antara wajah-wajah wanita yang ditemuinya setiap hari. Harapannya, suatu hari nanti ia akan bisa menemukannya. Mungkin… Bila ia berusaha keras.
Menurut cerita orang-orang di tempat tinggalnya, Tono dibuang saat masih bayi, sembilan tahun yang lalu. Tak ada yang pernah melihat wajah ibunya. Tak ada yang tahu. Mbah Upik yang membesarkannya dan Mang Asep yang menanggung seluruh biaya hidupnya selama ini. Kalau bisa dikatakan seperti itu. Soalnya sejak bayi hingga sekarang Tono telah ikut Mbah Upik mengemis di mana-mana.
Sejak pikiran tentang ibu mengganggunya, dia terus berusaha mencari informasi dari orang-orang sekitarnya tentang wanita itu. Namun tak banyak yang bisa dikoreknya. Pernah ia memberanikan diri bertanya pada Mang Asep. Lelaki itu menatapnya dengan alis yang tertaut sedemikian rupa, yang menambah kesangaran wajahnya.
“Ibumu sudah mati!” katanya dengan suara menggelegar seraya berlalu meninggalkan Tono.
Semalamam Tono menangis dan kata-kata Mang Asep terus terngiang-ngiang di kepalanya. Esok paginya Tono bangun dengan mata sembab dan wajah pucat. Tak ada yang menanyakan mengapa. Tak ada yang prihatin dengan awan kesedihan di wajahnya. Mang Asep malah tampak puas ketika melihatnya. Karena semakin menyedihkan rupa Tono, semakin besar kesempatannya memperoleh penghasilan yang tinggi hari itu.
Suatu hari Tono duduk di samping Mbah Upik dan menanyakan hal yang sama dengan yang pernah dia tanyakan pada Mang Asep. Mbah Upik mengelus-elus kepala Tono dan berkata: “Nang, Nang… Nasibmu memang malang. Terima saja.” Ia memanggil Tono dengan panggilan ‘Nang’ – panggilan kesayangan untuk anak laki-laki Jawa.
Bukan itu jawaban yang diinginkannya. Karena itu akhirnya Tono bertekad mencari ibunya sendiri. Dia tak percaya bahwa ibunya sudah mati seperti kata Mang Asep. Tono yakin dia masih hidup, hanya entah di mana. Sebenarnya sempat terpikir oleh Tono untuk melapor ke pos polisi di seberang sana. Seperti yang sering dia lihat di siaran televisi yang biasa ditontonnya di warung di ujung lorong. Katanya polisi bisa membantu menemukan anak yang hilang. Tapi ini ibu yang hilang. Apakah mereka akan menolongnya mencari? Sayangnya, Tono tak tahu bagaimana ciri-ciri ibunya itu..
Tapi pencarian ibunya tak akan ia hentikan, meski tidak bisa mendapatkan bantuan siapa pun. Dia akan mencari sendiri. Toh, dia punya tangan, kaki, mata dan mulut. Dia yakin akan menemukan ibunya suatu hari nanti. Dia hanya harus lebih teliti memperhatikan orang-orang yang lewat setiap hari. Suatu hari nanti ibunya pasti akan lewat. Tono percaya akan hal itu.
Lampu merah menyala.
Sedan putih itu berhenti pelan. Tono mendekat.
“Bu…”
Tono mengetuk kaca jendela dan memandang ke arah wanita muda di dalam. Wanita itu menoleh, melihat Tono sekejap dan kemudian melambaikan tangannya. Tanda untuk pergi.
Tono mengetuk sekali lagi dan memasang wajah yang lebih memelas. Ini yang diajarkan Mang Asep, jangan cepat menyerah. Selalu minta sekali lagi, bila kau tidak dberi uang.
Mang Asep adalah pimpinan gerombolan mereka. Tono sendiri tidak tahu siapa sebenarnya laki-laki itu. Yang dia tahu hanyalah, setiap petang menjelang gelap, mereka semua pulang ke tempat yang mereka sebut rumah dan harus menyetorkan uang hasil mengemis sepanjang hari itu kepada Mang Asep. Rumahnya, sebenarnya hanya berupa kotak kayu yang berlubang dan penuh tambalan, yang berada di sebuah lorong sempit di belakangan kawasan pembuangan sampah. Dan setelah penyetoran selesai, Mang Asep akan memberikan makian atau pukulan untuk beberapa orang yang membuatnya tak puas dan kemudian diakhiri dengan ceramah singkat agar hasil yang mereka peroleh esok hari bisa lebih banyak.
*
Wanita bermata belo itu menoleh lagi, tampak sedikit jengkel. Namun kali ini tangannya bergerak ke bawah jendela. Dari lubang jendela yang terbuka sedikit, ia menjatuhkan sekeping uang logam. Tono menadahnya cepat dan mengucapkan terima kasih. Wanita itu tampaknya tak mendengarnya, karena secepat tangan Tono terulur, secepat itu pula kaca mobilnya tertutup kembali.
Sebelum menghampiri mobil belakang, Tono sempat memperhatikan wajah ibu itu sekali lagi. Harusnya dia bukan ibuku, pikir Tono. Kulit wanita itu kuning langsat, alisnya tebal dan matanya belo. Sementara Tono sendiri hampir tak beralis dan matanya tak sebesar mata wanita itu. Kulitnya? Jauh dari kuning langsat. Walau Tono sendiri tidak yakin apa warna kulitnya itu. Coklat kehitaman? Sepertinya. Tapi rasanya, mereka yang mengemis di sana, rata-rata memiliki warna kulit yang sama. Entah karena rusak terbakar matahari atau karena debu yang menempel setiap hari sudah melekat, tak bisa dicuci lagi. Tono bahkan sering tidak mandi.
Mandi adalah sebuah kemewahan di kawasan tempat tinggalnya. Butuh dua ribu perak untuk sekali mandi di WC umum. Kalau dua kali sehari berarti empat ribu perak. Kalau tiap hari dia mengurangi jatah setorannya hanya untuk mandi dua kali, Tono harus mau merelakan telapak tangan Mang Asep yang besar singgah di wajahnya. Rasanya pedas dan panas. Bahkan bisa membuatnya pusing selama berjam-jam. Tono lebih suka dengan bau menyengat tubuhnya daripada merasakan penderitaan itu.
Mobil berikutnya. Seorang wanita lebih berumur dari wanita yang tadi duduk di belakang setir. Wajahnya cantik, dandanannya tebal. Mobilnya bagus. Tono tidak tahu apa namanya. Merk-nya Toyota, tapi bentuknya seperti van hanya saja tampak lebih mewah.
Belum sempat ia mengetuk, kaca mobil telah turun. Harusnya dia kasihan melihat wajah sendu Tono. Atau tubuh ringkihnya.
Selembar uang lima ribuan disodorkannya pada Tono. Tak sadar Tono tersenyum lebar.
“Terima kasih, Bu!”
Ia mengangguk dan balas tersenyum. Wangi parfumnya lewat, singgah di hidung Tono.
Tono menatapnya lagi..”Ah, seandainya dia ibuku… Cantik, kaya, baik… Aku pasti sangat beruntung, bisa ke mana-mana naik mobil mewah. Lagi aku pasti sangat disayang dan dimanjakan olehnya.” Begitu pikir Tono.
Suara klakson bersahutan membuat Tono tersentak. Lampu hijau.
Mobil mewah itu perlahan melaju pergi, meninggalkan Tono yang masih tertegun di tepi jalan.
Sebuah tarikan di sikunya membuat Tono sedikit oleng ke belakang.
“Mau mati lo!” teriak Nuno di telinga Tono.
Tono tak sadar dengan kendaraan-kendaraan yang melaju di depannya.
Mata Nuno membelalak. “Wah, gila lo! Dapat duit lima ribuan! Masih pagi udah dapat banyak!”
Tono segera menyusupkan uang lima ribu tadi di saku celana rombengnya. Takut suara Nuno terdengar oleh yang lain. Bisa-bisa uangnya dirampas. Apalagi oleh Ibu Nuno, yang duduk mengemis di samping pohon itu.
Tono tak pernah suka pada Ibu Nuno, walau kadang dia tak mampu menahan iri melihat Nuno memiliki ibu kandung. Ibu Nuno itu adalah seorang wanita bertubuh gemuk dengan rambut awut-awutan dan mulut yang senantiasa mencibir. Matanya selalu menatap siapa saja dengan tatapan mencela dan tak suka. Dia punya kebiasaan meludah setiap beberapa menit. Dan Nuno, sahabatnya itu, sering menjadi bulan-bulanan makian kasarnya. Tono tak bisa membayangkan seandainya dia punya ibu seperti itu.
“Nanti aku traktir jajan ya, No,” kata Tono yang disambut Nuno dengan cengiran lebar dan jingkrakan sebelum ia berlalu pergi.
Ketika Tono mundur, dia menabrak seseorang.
“Hati-hati, Dik…”
Tono mengangkat wajah pada suara lembut itu. Dia terpana. Wajah seorang wanita muda yang terlihat begitu sabar dan lembut. Wanita itu tersenyum padanya dan tetap berdiri di tempatnya seraya memperhatikan lalu lalang kendaraan di depannya. Tampaknya dia akan menyeberang.
Tono masih menatapnya, tak mampu berkata apa-apa.
Dia menoleh, melihat Tono lagi. Kali ini dia merogoh tasnya dan menyodorkan selembar ribuan pada bocah itu. Mengira Tono tengah menunggu pemberiannya.
Tono bahkan tak mampu berkata-kata. Pesona wanita muda itu membuatnya lumpuh.
Tapi wanita itu tak mempedulikan Tono lagi.
Tono menguatkan diri. Kalau tidak sekarang, mungkin tak ada kesempatan lain lagi.
“Bu…”
Wanita itu menoleh dengan alis naik sedikit.
“Ngg… Boleh saya bertanya?”
Ia mengangguk dengan senyum lembutnya. Mungkin tersentuh oleh kesopanan Tono.
“Ibu ini ibu saya bukan?”
Senyuman itu hilang. Ia tampak bingung.
“Saya sedang mencari ibu saya. Dia meninggalkan saya waktu masih bayi. Saya tidak tahu wajahnya seperti apa.”
Semenit berlalu. Tono berharap dia mengangguk dan mendengarnya berkata, “Oh, kebetulan sekali sembilan tahun yang lalu saya membuang anak saya di dekat sini. Kamu pastilah anak itu. Ayo, Nak ikut Ibu pulang,” Tono berkhayal
Tapi perempuan itu menggeleng. “Bukan, Dik. Saya belum menikah dan belum pernah melahirkan.”
Sekali lagi dia tersenyum sebelum berbalik dan menyeberang. Lampu merah lagi.
*
Pencarian Tono rasanya tak akan pernah berujung. Hari demi hari lewat tanpa pernah menemukan ibunya itu. “Oh, Ibu di manakah dirimu berada?” Tono merintih. Rasanya begitu banyak orang yang lalu lalang setiap hari, bagaimana dia mampu menemukan wanita itu di antara mereka?
Sampai suatu hari, ketika Tono berjalan tak tentu arah, meninggalkan tempat bertugasnya sehari-hari jauh di belakang. Ia menemukan banyak lukisan yang tergantung di sepanjang jalan. Tempat para pelukis jalanan mangkal. Tono terpesona akan wajah-wajah yang dilukiskan mereka. Ada wajah-wajah yang dikenalnya. Wajah-wajah yang biasa dilihatnya di layar kaca. Begitu mirip.
Saat itulah terbit ide di kepalanya. Bila saja lukisan wajahnya bisa digantung di sana dan mungkin suatu hari nanti ketika ibunya lewat tempat itu dan mengenali kemiripan wajah mereka, wanita itu akan dapat menemukannya. Bukan lagi cuma dia yang bisa menemukan wanita itu. Itu pikiran Tono. Dia sama sekali tak pernah meragukan kalau ibunya masih menginginkannya. Dan dia masih yakin ibunya membuangnya dulu karena terpaksa.
Dia mendekati seorang lelaki tua yang tengah asyik melukis sebuah wajah yang mirip dengan foto kecil di samping kanvas.
“Pak…”
Lelaki itu menoleh dan matanya langsung menyipit ketika melihat Tono. Kulitnya hitam kasar, dengan jemarinya yang berbonggol-bonggol. Rambutnya panjang terurai berantakan, sementara sebuah kacamata dengan kaca kekuning-kuningan karena dimakan waktu, bertengger di atas hidungnya yang pesek.
“Saya mau dilukis, Pak,” kata Tono menatap lurus ke mata lelaki itu.
“Kamu punya uang gak?!”
Tono merogoh sakunya dan mengeluarkan semua uang yang dimilikinya. Sebagian uang lembaran seribuan yang lecek dan beberapa uang logam.
Lelaki tua itu menoleh. Matanya membesar.
“Edan!!! Pergi sana! Mengganggu kerjaan orang saja!”
Tono setengah terbirit, kaget akan suara lelaki itu yang menggelegar tiba-tiba. Ditinggalkannya tempat itu. Dari sana ia berjalan perlahan, masih mengamati lukisan-lukisan sepanjang jalan. Masih dengan keinginan menggebu untuk bisa memajang foto dirinya di sana. Tapi lelaki tua tadi telah mengagetkannya. Ia tak berani lagi sembarang bertanya.
Tiba di kios terakhir, langkah kaki Tono terhenti. Enggan meninggalkan tempat itu tanpa hasil. Namun dia juga tak tahu harus bagaimana. Seorang lelaki tua, berambut putih menengok ke arahnya. Lelaki itu sedang duduk menghisap sebatang rokok. Tampak menikmati setiap kepulan yang dihembuskannya. Ia menatap Tono. Tatapan Tono dari lukisan beralih ke wajah tua itu. Lelaki tua itu tersenyum. Tono tertegun. Sedetik kemudian ia balas tersenyum sementara kakinya melangkah masuk.
“Permisi, Pak,” sapanya sopan.
“Oh iya, masuk saja. Kamu cari siapa?”
Tono ragu sejenak. “Nggg…. Begini, Pak. Nama saya Tono. Saya sedang mencari Ibu saya.”
“Oh… Memangnya ibumu ke mana, Nak?”
“Saya juga tidak tahu, Pak. Kata orang-orang ibu saya ninggalin saya di pinggir rumah Mang Asep sejak saya masih bayi. Sampai sekarang ibu tidak pernah kembali.”
Lelaki tua itu berhenti menghisap rokoknya. Ia bangkit sedikit, meluruskan punggungnya tanpa berkedip sedikit pun dari wajah Tono.
Bocah itu kemudian menceritakan usahanya belakangan ini untuk menemukan ibunya. Suara kecilnya atau mungkin ekspresi wajahnya yang polos membuat lelaki yang bernama Pak Ghali itu tersentuh. Kepalanya mengangguk-angguk di antara cerita yang dituturkan Tono.
“Jadi maksud kamu mau bapak melukis wajahmu dan menggantungnya di sini?”
Tono mengangguk cepat. “Boleh, Pak?” tanyanya penuh harap. “Saya punya, tapi memang tidak banyak,” sambungnya lagi seraya merogoh sakunya kembali.
Bapak tua itu tertawa seraya bangkit dari kursinya. “Kamu yakin ibu kamu akan mengenali wajah kamu?”
Tono mengangguk cepat. “Wajah anak pasti mirip wajah ibunya. Ya kan, Pak?”
Pak Ghali mengangkat bahunya, tak mengiyakan. “Lalu, kalau sampai kamu besar nanti kamu tidak bisa menemukan Ibu kamu, bagaimana?”
“Saya akan terus mencari, Pak. Saya hanya ingin tahu bagaimana wajah ibu saya.”
Ada kesedihan dalam suara Tono. Kepala tertunduk. Pak Ghali menepuk pundaknya. “Begini saja anak muda,” katanya seraya menatap lurus ke wajah Tono. “Bagaimana kalau Bapak bantu kamu melukiskan wajah ibu kamu?”
“Bapak tahu wajah Ibu saya?”
Pak Ghali tertawa.
Tono tercengang. Jantungnya berdetak kencang. “Bapak kenal ibu saya?”
“Tentu saja tidak. Tapi kan kamu bilang wajah anak pasti mirip wajah ibunya. Berarti wajah kamu mirip wajah ibumu. Mudah untuk melukis wajah ibumu.”
Tono tertegun, masih mencoba mencerna kata-kata Pak Ghali.
“Begini saja,” kata Pak Ghali seraya menggeser sebuah bangku kecil ke arah Tono. “Kamu duduk di sini, bapak akan lukis wajah ibumu.”
Tono menurut tanpa mampu berkata-kata. Dan lelaki tua itu mengambil kuasnya dan kanvas baru. Beberapa saat kemudian ia mulai melakukan pekerjaannya. Matanya berpindah-pindah dari kanvas dan wajah Tono. Tono menahan napas, takut untuk bergerak. Dia takut merusak karya besar bapak itu. Wajah ibunya.
“Kamu mau rambut ibumu panjang atau pendek, Nak?”
Tono tersentak, terkejut akan pertanyaan itu. Panjang atau pendek? Bayangan ibunya di kepalanya adalah seorang wanita lembut berambut panjang.
“Panjang, Pak,” jawabnya pelan.
“Rambutnya terurai atau disanggul?”
Kali ini senyum di wajah Tono merekah. “Sanggul, Pak,” jawabnya riang.
Kepala si Bapak terangguk-angguk, kemudian ia kembali larut dalam pekerjaannya. Hening menyelimuti tempat itu.
Entah berapa lama kemudian, yang Tono tahu hanyalah tubuhnya mulai terasa keram karena tidak digerakkan dalam waktu lama, ketika si Bapak berdiri dan berkata, “Sudah selesai.”
Lelaki itu melambai pada Tono. “Mari sini, Nak. Lihat wajah ibumu.”
Dada Tono seakan dipukul palu berat, bertalu-talu. Ia bangkit dengan kaki yang mati rasa dan sedikit gemetar. Akhirnya, untuk pertama kalinya ia akan melihat wajah ibunya.
Tono terpaku melihat lukisan sederhana itu. Wajah wanita di kanvas benar sungguh mirip wajahnya. Hanya saja wajah itu terlihat lebih halus dan tatapan matanya begitu lembut. Wanita itu tengah tersenyum ke arahnya.
Tak sadar, airmatanya menitik.
“Jangan nangis, Nak. Nanti bapak pajang lukisan ini di luar. Setiap hari kamu bisa lewat sini, memandangi wajah ibumu kalau kamu rindu. Dan semoga kalau ibumu lewat sini, dia bisa mengenali wajahnya dan singgah untuk menanyakanmu.”
Si lelaki tua menepuk-nepuk pundak Tono.
Tono berusaha tersenyum di antara tangisnya. “Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak…”
Dirogohnya kantong celananya dan dikeluarkannya semua uang hasil mengemis hari ini. Dia bermaksud memberikan semua uang itu pada Pak Tua yang baik hati itu. Dia tak peduli lagi bila nanti sore mesti mendapat pukulan Mang Asep. Sakit itu tak akan ada artinya dibandingkan bahagia hatinya saat ini.
Pak Ghali tertawa melihat uang yang disodorkan Tono.
“Simpan saja, Nak. Bapak mau melukis wajah ibumu karena bapak tahu sedih hatimu. Bapak ingin membantumu.”
Tono terperangah. Tak percaya ada seseorang yang tak menginginkan uang. Tak percaya ada orang yang ikhlas dalam dunia ini.
“Tapi, Pak…”
Pak Ghali mengambil lukisan yang telah jadi itu dan menggantungnya di sudut depan kios tersebut.
“Bagaimana? Kamu suka?”
Tono mengangguk cepat, seraya menyeka sisa airmatanya. Hatinya penuh dengan rasa bahagia.
“Sudah sore, pulanglah,” kata Pak Ghali seraya menepuk kedua tangannya. Tono mengangguk. Sekali lagi mengucapkan terima kasih dan sekali lagi memandangi wajah ibunya dengan senyum terlebar yang dimilikinya. Kini, ia tak perlu mencari-cari wajah ibunya di antara orang-orang yang lewat. Kini ia telah tahu wajah ibunya. Wajah Ibu yang selama ini dicari-carinya.
Angel Li, wirausaha muda tinggal di Cengkareng Jakarta Barat Pemenang Ke-1 LMCR 2009 untuk kategori C (Mahasiswa, Guru dan Umum)
 
Leave a comment Posted by noeph pada 9 Mei 2011 in Cerpen Indonesia
 

cerpen

KALI GARANG

Oleh Karina Danastri Hanindita
Ungaran adalah nama sebuah gunung. Ia terletak di sebelah selatan kota Semarang, ibukota provinsi Jawa Tengah. Di kaki gunung itu ada sebuah desa bernama Genuk. Meskipun demikian,  Genuk dilintasi jalan raya  yang menghubungkan kota Semarang dengan Solo atau Yogyakarta.
Rumah orang tua ibuku terletak di tepi jalan raya, yaitu  jalan Diponegoro. Dua ratus meter saja dari RSUD Ungaran. Tak heran tempatku tinggal di desa Genuk kecamatan Ungaran kabupaten Semarang ramainya menyamai kota.
Lain halnya dengan tempat tinggal orang tua ayah, di  kampung Tirtoyoso. Orang di situ lebih suka menuliskan nama jalan yang diambil dari nama raja Ki Ageng Tirtayasa itu dengan vokal o, bukan a. Itu karena orang Jawa mengucapkan o pada Tirtoyoso seperti pada kata tokoh bukan toko. Meskipun di  Semarang, ia tergolong jalan kampung. Untuk menuju ke jalan raya dr. Cipto, di mana bus-bus Semarang – Yogya atau Semarang – Solo lewat, harus keluar menempuh jarak satu kilometer. Tempat tinggal itulah yang sering dijadikan bahan canda kedua orang tuaku. Meskipun di gunung, rumah ibu terletak di tepi jalan raya. Rumah ayah memang di kota, tapi di perkampungan.
Jalan raya rumah orangtua ibuku  sungguh ramai,  selalu macet berjam-jam pada rangkaian libur Lebaran. Di  belakang rumah mereka bernuansa  pedesaan. Lima puluh meter dari belakang rumah terdapat jalan menurun. Lebarnya hanya pas untuk jalan satu mobil. Tapi rasanya tak satu mobil pun pernah melewati jalan itu. Salah satu tepinya berupa saluran air selebar paving block melintang. Karena menurunnya cukup curam, maka air di saluran itu mengalir dengan derasnya. Beberapa puluh meter menyusuri jalan menurun, aliran air itu bertemu saluran yang lebih besar. Menyusuri sungai kecil itu, tak jauh kemudian akan bertemu dengan sungai bening berbatu-batu. Semua saluran di sekitar desa ini bertemu di sungai itu. Alirannya sangat deras karena berasal dari gunung. Tidak jarang sungai ini menghanyutkan orang. Namanya Kali Garang, sesuai dengan karakternya. Kali Garang ini mengalir sampai ke kota Semarang.
Air sungai ini menjadi sumber utama  air minum warga  Semarang, kota  yang punya julukan kota ATLAS itu. Ini juga sering jadi bahan canda ibuku. Orang Semarang, termasuk ayah, air minumnya terbuat dari air yang mengandung air seni ibu. Begitu canda ibu yang disambut senyum atau kadang tawa terbahak ayahku.
Aku bertemu dengan seorang bapak tua di pinggir sungai itu. Rambutnya putih, bercelana kolor hitam. Pak Daguk namanya. Setiap hari ia menata batu-batu di tepi sungai. Ia memunguti batu-batu dari dalam sungai, membawanya ke atas, dikelompokkan berdasarkan ukurannya. Ada sederetan tumpukan batu seukuran bola kasti, ada yang sebesar buah nangka. Tapi ada pula kelompok kerikil sebesar bola bekel.
Pak Daguk tidak bertani seperti orang-orang di desa ini. Tidak juga menggembalakan kambing atau memelihara itik. Pekerjaannya hanya merapikan batu-batu kali. Ia jarang bicara, tapi disegani penduduk sekitar Kali Garang. Ia makan dari pemberian orang. Ada saja orang yang mengirimkan makanan untuknya di pinggir sungai itu.
Ia hafal betul suhu air sungai itu. Ketika suhu air cukup hangat, itu pertanda cuaca di atas gunung sana sedang panas. Ia juga tahu hujan deras bakal turun di desa ini dari air sungai itu.
Suatu ketika pernah Pak Daguk berlari keliling desa sambil berteriak-teriak.  ”Hujan deras, hujan deras ! Banjir bandang, banjir bandang ! Awas, awas !” teriak lelaki tua itu dengan suara parau, mengenakan  celana kolor hitam kedodoran.
Penduduk desa di sekitar Kali Garang terheran-heran. Mereka,  melongokkan kepala ke luar rumah ingin tahu apa yang terjadi. Hari memang mendung. Sesekali petir menyambar. Tapi apa maksud lelaki tua itu berteriak-teriak keliling desa ?
Senja semakin gelap, matahari sudah tenggelam. Gelegar guntur memecah kesunyian. Malam itu jadi semakin gelap karena hujan turun dengan derasnya. Hanya kilat petir saja yang sesekali menerangi desa di kaki gunung Ungaran itu. Sepi. Tak ada kegiatan yang dilakukan penduduk. Mereka semua diam kedinginan di dalam rumah yang sebagian masih berlampu minyak.
Pak Daguk berdiri mematung dengan tangan bersedakep di depan sebuah gubug. Ia tak pedulikan tubuhnya basah kuyup oleh air hujan. Air matanya menetes, tapi tak ada yang melihat. Tetesan air hujan dari atap gubug itu mengalir di kepalanya lebih deras daripada air matanya.
Hujan deras sepanjang malam membuat lelaki tua yang hidup sebatang kara itu tak tidur sekejap pun. Batinnya menangis. Sampai pagi menjelang, lelaki berkolor hitam itu masih sendirian di gubug di tengah sawah. Ia menangis. Kali ini isaknya terdengar. Dari radio Pak Carik yang tak jauh dari gubug itu terdengar berita, banjir bandang hebat melanda kota Semarang. Banyak rumah terendam. Harta benda dan binatang ternak hanyut, bahkan belasan orang terbawa arus. Maka penduduk desa bertambah segan dengan Pak Daguk. Mereka menganggapnya dukun. Bahkan ada yang menjulukinya orang sakti karena tahu apa yang akan terjadi di alam ini.
Aku lewat tak menyapa Pak Daguk yang sedang menata batu-batu kali. Tapi akhirnya kuputuskan berhenti di dekatnya, mengamatinya dari jarak agak dekat. Ingin sekali aku mengajaknya bicara, namun aku takut. Wajahnya seram.
Tak jauh darinya ada sebuah batu besar. Kalau batu itu ditegakkan dan dibuatkan tempat, ia butuh ruang sebesar kamar mandiku yang berdimensi 2 m x 1,5 m x 3 m. Jadi volumenya sekitar sembilan  meter kubik. Aku  tahu dari ayahku, berat jenis mixed concrete, yaitu campuran pasir-batu-semen-air yang dipakai untuk mengecor jalan itu sebesar 2,4 ton/m3. Kalau dianggap berberat jenis sama, maka bobot batu besar itu merupakan hasil kalinya yaitu mencapai 21,6 ton. Tentu saja batu yang sebesar ini tidak termasuk yang dikumpulkan dan ditata Pak Daguk.
Kubiarkan teman-temanku bermain di sungai. Mereka sudah terbiasa di tempat ini.  Gatot yang berbadan gemuk berenang-renang di dekat batu besar itu. Boing, teman sekolahku yang lahir pada Rabo Paing itu melemparkan jauh-jauh batu kerikil yang dipungutnya dari dasar sungai yang dangkal. Dian menepuk-nepukkan telapak tangannya ke permukaan air sehingga menciptakan suara seperti kendang. Dita dan Dani memanggil-manggil namaku mengajak berbasah-basah. Aku memilih tetap di dekat Pak Daguk sambil berpura-pura mencari batu-batu kerikil. Keinginanku berbicara dengan lelaki tua itu sangat kuat.
”Boleh saya membantu mengatur batu-batu itu, Pak ?” tanyaku memberanikan diri.
Sejenak bapak tua berambut putih itu berhenti menata batu. Ia berdiri tegak menatap ke arahku dengan matanya yang tajam. Jantungku berdegup keras. Jangan-jangan ia marah besar kepadaku. Aku tak berani menatap matanya.
Ketika aku sedikit melirikkan mata ke arahnya, aku melihat senyumnya mengembang. Lalu iapun mengangguk. Seketika takutku hilang.
Aku mulai ikut menata batu-batu berukuran sedang. Maklum, anak perempuan seusia SMP sepertiku tentu tak mampu mengangkat batu-batu yang besar. Lagi pula ini sebenarnya hanyalah alasanku saja supaya aku bisa berbicara dengannya. Mulailah aku berbicara dengannya, dari hal  yang ringan-ringan dan akhirnya sampai juga pada perbincangan soal alam yang ramah yang secara tiba-tiba bisa berubah menjadi ganas.
”Di atas gunung sana banyak hutan yang digunduli. Ulah manusia serakah selalu ingin mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri tanpa memikirkan kepentingan orang lain. Tidak sadar kalau itu membawa bencana dan merugikan orang banyak,” jelas Pak Daguk berapi-api.
Tanah yang tinggi dan miring seperti di gunung ini seharusnya banyak ditanami pohon. Bila turun hujan batang-batangnya yang perkasa akan mampu meredam derasnya aliran air. Pohon-pohon itu  berfungsi sebagai benteng penahan arus air. Selain itu,  akar-akarnya menyerap air dan menyimpannya ke dalam tanah. Maka,  tanah tidak mudah terkikis oleh air. Lapisan humus yang merupakan lapisan subur di atas permukaan tanah juga tidak terhanyut begitu saja. Maka dapatlah dimengerti bahwa pepohonan yang lebat itu akan mampu mencegah terjadinya banjir dan tanah longsor.
Aku banyak belajar dari bapak tua yang kaya akan pengalaman itu.  Aku lalu  bertanya kepada bapak bijak itu tentang apa yang bisa aku  lakukan bersama teman-temanku.  Ia  memintaku memanggil semua temanku yang sedang asyik bermain di sungai,  agar bisa  mendengarkan pengarahan Pak Daguk.
Kami semua mendengarkan  penjelasan Pak Daguk dengan penuh perhatian. Ia  sangat prihatin dan khawatir akan bencana-bencana yang mungkin saja akan semakin hebat bila kita tak melakukan apa pun untuk menjaga lingkungan kita..
Penjelasannya berapi-api. Sesekali bernada rendah dengan suara parau ketika mengungkapkan kesedihan yang mendalam. Bahkan tampak pula matanya yang berkaca-kaca ketika menyatakan keprihatinannya.  Orasinya yang ekspresif itu kurasakan tidak hanya merasuk ke dalam jiwaku, tapi juga jiwa teman-temanku.  Semangat kami dibakar. Dari dalam diri kami seakan menyembur api yang  siap melumat setiap aral yang hendak merintangi tekad kami,  memerangi keserakahan manusia egois, si tukang tebang hutan.
Bagai traktor yang bekerja di sawah yang luas aku dan teman-temanku beraksi. Mulai menghadap Pak RT, Pak RW, Pak Lurah, dan Pak Camat, membakar semangat teman-teman sekolah. Kami juga mempresentasikan proposal di hadapan kepala sekolah dan guru-guru; sampai menghadap pejabat pemerintah yang berwenang dalam masalah lingkungan hidup.
Akhirnya kami mendapatkan ribuan bibit tanaman keras, termasuk pohon buah-buahan antara lain pohon mangga. Dengan semangat tanpa mengenal lelah kami membagi-bagikannya kepada semua penduduk yang lahannya gundul. Kemudian kami menyuluh mereka agar mau nenanam bibit pohon tersebut, memeliharanya, dan mencintai lingkungan hidupnya. Mereka tampak tertular semangat kami. Usaha kami membuahkan hasil walau belum maksimal. Saat ini hampir semua penduduk di lereng gunung itu sudah sadar lingkungan.
Desa mereka menjadi desa yang lebih asri. Masyarakat menjadi lebih sejahtera dari hasil tanaman yang sebagian besar adalah tanaman buah-buahan.  Mereka bangga dengan desanya. Betapa tidak ! Desa itu menjadi desa yang subur pula. Hari ini melempar biji mangga, beberapa tempo kemudian mereka telah berhasil menambah jumlah populasi pohon mangga. Desa itu akan menjadi kaya dan semakin kaya.
Udara pagi terasa mulai hangat. Matahari meneroboskan cahayanya ke sela-sela rimbun dedaunan. Sinarnya sampai juga ke kulit tubuhku, mengirimkan rasa hangat ke sekujur badan. Sementara kaki ini terasa dingin sampai sebatas lutut sebab terendam air Kali Garang nan sejuk. Kulit telapak kakiku serasa mendapat pijatan refleksi ketika berjalan di atas dasar sungai yang berkerikil itu.
Hoiii...! Airnya keluar dan bening,” teriak seorang lelaki dari tepi sungai. Lelaki berambut putih berkolor hitam itu siapa lagi kalau bukan Pak Daguk.
Aku mengamati mereka dari kejauhan. Di sana ada Gatot, Boing, Dian, Dita, dan Dani. Tentu saja dengan bapak tua yang sudah menjadi sahabat kami itu. Mereka tampak gembira mengerumuni sebuah drum yang keran di dasarnya mengeluarkan air bening.
Aku duduk di atas batu besar dua puluh satu ton itu. Senang mengamati teman-teman mempraktekkan pembuatan sand filter. Drum bekas oli yang telah dibersihkan itu kami dapat dari ayah Gatot yang punya usaha bengkel sepeda motor. Ayah Gatot pula yang memasangkan sebuah keran di dasar drum itu. Di dalam drum diisi dengan susunan batu berbagai ukuran dari sedang sampai kecil berturut-turut dari bawah ke atas. Bagian paling atas berupa pasir dan ijuk.
Air sungai yang keruh dialirkan dari bagian atas drum,  yang kami sebut saringan pasir itu. Air akan mengalir ke bawah berdasarkan gaya gravitasi. Ia melewati ijuk dan pasir dengan meninggalkan partikel-partikel penyebab kekeruhan. Kemudian, air  akan mengalir terus melewati saringan berupa kerikil-kerikil sebesar butir biji jagung. Di bawahnya sudah menunggu susunan batu-batu seukuran bola bekel, dan seterusnya hingga akhirnya air itu keluar melalui keran yang dipasang pada dasar drum. Tentu saja air yang keluar sudah jernih.
Tidak sulit bagi kami mencari batu berbagai macam ukuran itu. Pak Daguk telah mengumpulkannya selama bertahun-tahun. Ini pula yang menjadi pemikiranku bersama teman-teman. Kami ingin membuat sand filter berukuran raksasa. Kami ingin mengolah sendiri air minum untuk masyarakat yang membutuhkan. Pak Daguk setuju dengan ide ini. Bahkan matanya  berbinar-binar  saat mendengar gagasan kami. Ia merasa berharga. Selama bertahun-tahun pekerjaan mengumpulkan dan mengelompokkan batu-batu itu dianggap aneh oleh setiap orang yang melihatnya.
Bila air sungai sangat keruh, ia terlebih dahulu harus diperlakukan dengan proses yang disebut flokulasi dan koagulasi. Air keruh itu dilewatkan bak panjang yang bersekat-sekat untuk memberi kesempatan lumpur dan pasir mengendap sendiri berdasarkan gaya berat. Lalu ke dalam air itu ditambahkan flokulan berupa larutan tawas. Fungsinya menangkap partikel-partikel koloid yang tidak bisa mengendap dengan sendirinya pada proses sebelumnya.
Partikel lumpur akan menjadi semakin besar dan berat. Bila sudah cukup berat,  partikel akan mengendap. Secara berkala endapan itu dikeluarkan melalui keran yang dipasang di dasar bak flokulasi. Air yang sudah lebih jernih disaring  sand filter. Untuk mensterilkan air yang sudah jernih, dilakukan proses desinfeksi dengan menambahkan larutan kaporit pada dosis tertentu, agar memenuhi syarat sebagai air minum.
Boing  memikirkan cara agar air bersih itu dapat  didistribusikan ke desa-desa yang lokasinya lebih tinggi. Kami akan membuat pompa yang mampu mengalirkan air bersih ini tanpa menggunakan energi listrik. Kami akan memanfaatkan aliran sungai sebagai sumber tenaga. Aliran sungai bisa menggerakkan kincir. Nah, kincir itulah yang  menggerakkan piston pompa sehingga mampu memompa air ke daerah tinggi sekalipun.
Semilir angin mengurai rambutku. Desirnya terdengar syahdu. Rumpun bambu di sampingku merunduk-rundukkan batangnya yang lentur. Daun-daunnya melambai ramah. Gemercik aliran air Kali Garang menciptakan aransemen tersendiri atas orkestra alam ini, ditingkah suara gesekan batang-batang pohon bambu. Di atas dahan pohon lamtoro sepasang burung berkicau merdu. Tak lama kemudian terbang bergabung kawanan burung sejenisnya untuk mencari tempat bertengger,  buat menyanyikan lagi kicauannya.
Alam ini terasa ramah, ketika hati kita pun ramah padanya. Ia mampu membaca hati kita. Ketika hati kita dipenuhi dengan keserakahan, kemalasan, dan ketidaksucian, ia garang. Saat hati kita bersih dan penuh cinta kepadanya dan memikirkan sesama, ia ada di pihak kita. Terkadang kita harus memperlakukan alam ini bak makhluk yang bernyawa. Itulah yang aku dapatkan dari lelaki renta nan bijak yang mencintai alam itu.
Matahari mulai tinggi. Panasnya menyengat punggungku. Aku turun ke air yang sejuk, berjalan menuju sekelompok manusia yang sedang optimis itu. Aku mencintai teman-temanku yang selalu bersemangat. Aku pun mencintai Kali Garangku. Aku ingin lebih mencintai alam ini seperti Pak Daguk yang selalu bergaul akrab dengan alam. Dari alam kita memperoleh kehidupan. Oleh alam pula kita bisa mendapat bencana. Wahai manusia, bekerja samalah dengan alam ini untuk meraih kesejahteraan.
Hingga sore hari kami masih berada di  sungai itu. Sungguh mengasyikkan,  memperbincangkan  berbagai program yang akan kami lakukan selanjutnya,  di atas aliran Kali Garang. Tanpa terasa matahari sudah hampir tenggelam. Kami pun lelah. Tak seperti arus air Kali Garang ini yang terus mengalir tanpa lelah melintasi beberapa desa hingga menuju kota Semarang. Ia terus mengalirkan kesejukan dan kehidupan hingga akhirnya mencapai muara untuk bergabung dengan laut lepas.*
Karina Danastri Hadindita, Siswi SMPK Stella Maris Surabaya
 
Leave a comment Posted by noeph pada 9 Mei 2011 in Cerpen Indonesia
 

cerpen

KENANGAN DI ALBUM FOTO

Oleh Monica Stella
Kupandangi tumpukan album foto itu. Album-album foto yang sudah usang, termakan usia. Yah! Usang namun tetap terjaga rapi. Dengan sampulnya yang masih terlihat keapikannya, dengan setiap lembarannya yang sudah menguning menandakan usia album itu, album-album itu terlihat seperti benda kuno bersejarah yang terawat dengan sempurna. Namun apabila kalian perhatikan dengan seksama dan cermat, album-album itu semakin sempurna dengan kehangatan yang memancar di setiap lembarannya, karena di setiap ujung lembarannya terdapat tekukan-tekukan halus, tanda album itu telah sekian kali dibuka dengan kasih sayang oleh pemiliknya terdahulu, yang tidak lain  adalah ibuku.
*
Kuingat-ingat lagi masa kecilku. Aku bukanlah seorang anak yang termasuk dalam kategori dapat dibangga-banggakan, tidak seperti kakakku yang mempunyai segudang prestasi, tidak seperti kakakku yang mempunyai wajah cantik mengikuti garis wajah ibuku. Aku? Aku hanyalah Nol.  Aku tidak pintar. Tidak juga cantik, hanya tulisanku saja yang sedikit bagus. Wajahku mengikuti wajah almarhum Bapakku, yang keras, bukan Ibuku. Mulanya, aku tidaklah menaruh perhatian sama sekali terhadap hal itu, terhadap kata-kata kerabat-kerabat yang sering bertandang ke rumah, terhadap teman-teman yang selalu membandingkanku dengan kakakku, misalnya saja ‘Wah! Ratna kamu beda yah dengan Rena’ atau ‘Coba sekali-kali kamu contoh kakakmu, si Rena.’, karena ibu tak henti-hentinya menguatkan hatiku. Setiap kali aku bertanya padanya, ia akan selalu menjawab dengan tenang, dan jawabannya selalu saja dapat membuat hatiku kembali tenteram
“Bu, mengapa kakak lebih dalam segala hal dibandingkan aku? Aku sirik padanya!”
“Jangan sirik, Ratna. Kamu mempunyai kelebihanmu sendiri yang tidak dimiliki kakakmu.
“Bagaimana dengan tanggapan orang, Bu?” tanyaku.
“Yah, jangan kamu pikirkan apa kata orang, Na. Mereka kan tidak dan belum tahu bahwa kamu punya kelebihan, yang tidak dimiliki kakakkmu.”
Kata-kata  ibuku sudah menjadi pedomanku dalam menjalani hidup, hingga tak pernah sekali pun hatiku sakit oleh pandangan, kata-kata, dan anggapan orang yang menyiratkan perbandingan yang begitu besar antara aku dan kakakku. Namun, sungguh bodoh diriku percaya kata-kata itu untuk bertahun-tahun lamanya, hingga pada akhirnya kekuatan kata-kata itu runtuh, ketika seseorang yang sangat kusukai memanfaatkanku untuk mendekati kakakku, kata-kata itu tidaklah lagi bermanfaat  layaknya obat yang menenangkan, malah sebaliknya, sebagai racun yang menggerogoti hatiku, membuat pendirian yang telah kubangun selama ini menjadi goyah.
Hatiku rapuh, hari demi hari. Perbandingan yang selalu kuterima, dan  tatapan tidak percaya dari orang-orang kalau aku adalah adik dari Rena, seorang putri yang lebih dalam segala hal, sikap, perilaku, dan tentunya paras, justru semakin membuat hatiku jatuh ke lubang kelam yang semakin lama, semakin dalam, mengikis setiap saat. Setiap kali ibu menenangkanku, pastilah kujawab dengan kata-kata kasar. Kata-kata yang paling kuingat adalah ‘seharusnya ibu tidak melahirkan aku !’ yang dijawabnya dengaan tamparan di wajahku.
Kuingat lima tahun yang lalu, saat aku berumur 19 tahun, setelah tamparan itu, aku melarikan diri dari rumahku, meninggalkan keluarga, teman, serta pendidikanku karena lelah dibanding-bandingkan dengan kakakku, walau bukanlah ibu yang membandingkanku. Aku muak dengan semua itu, Aku juga muak dengan ibu, walau sampai sekarang aku tidak begitu jelas apa alasanku hingga muak pada ibuku sendiri. Bukan karena tamparan yang kuterima, mungkin karena ibu selalu berusaha menguatkanku padahal kenyataannya aku memanglah Nol, aku tidak punya hal yang dapat kubanggakan. Tidak sama sekali. Tidak seperti kakakku yang memiliki segalanya.
Aku pergi dari wilayah amanku, Solo, ke Jakarta, daerah yang penuh dengan hingar-bingar dunia malam, daerah yang ramai akan kejahatan. Sudah setiap kali ibu mengingatkanku bahwa Jakarta adalah tempat di mana banyak terdapat kejahatan. Namun hal tersebut tidak lantas menyurutkan keteguhanku untuk kabur dan merantau ke Jakarta.  Kupikir dengan pergi ke Jakarta, aku akan mendapatkan tempat untuk diakui oleh orang banyak, memberitahu kepada dunia kalau diriku itu ada, dan penting, bukan tidak berarti sama sekali, namun ternyata hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi aku bukan seorang yang pintar.
Bertahun-tahun aku bekerja serabutan, seperti part-time menjadi cleaning service, waitress dan sebagainya, sampai suatu ketika, ada seorang laki-laki yang menawari pekerjaan sebagai model dengan syarat tertentu kepadaku, kupikir inilah titik terangku, di mana aku akan memulai karirku yang gemilang. Kuiyakan begitu saja! Sungguh bodohnya diriku! Tidak lagi kupedulikan segala masalah, yang terpenting aku menjadi seorang model. Segala yang kupunya, mulai dari harta sampai kehormatanku telah kuberikan kepada lelaki itu, lelaki yang pernah menawari pekerjaan model kepadaku.
Kutunggu berbulan-bulan kabar akan pekerjaan baruku sebagai model, namun kabar itu tak kunjung datang, dan tak akan pernah datang. Baru kutahu kalau semua itu hanyalah bohong belaka, aku tidak menjadi model, apalagi lelaki itu juga tidak lagi menghubungiku, dia telah lari dengan perempuan lain, aku telah dibuang. Tidak ada yang tersisa padaku, pekerjaanku sebagai model yang memang tak pernah ada, dan yang terparah adalah tidak adanya harga diri dan kehormatan yang tersisa ditubuhku ini. Hatiku hampa.
“Ratna!” teriak seorang perempuan dengan ciri-ciri yang sangat kukenal. Begitu cantik, begitu bersinar, dialah kakakku.
“Ratna! Kamu bikin kami semua khawatir.” peluknya disertai air mata yang sudah menetes di wajah halusnya. Pelukannya tidaklah kubalas. Entah karena kaget tentang keberadaannya di Jakarta atau karena hatiku yang masih sakit hati terhadapnya.
“Ratna, sudah dua tahun kami semua mencarimu. Kamu bikin kami semua khawatir. Kamu pergi begitu saja hanya meninggalkan sepucuk surat tentang keberangkatanmu yang tak kau sebutkan tempatnya. Untung saja minggu lalu ada temanku yang ke Jakarta mengatakan kalau dia melihatmu di Jakarta, bekerja di daerah Pluit. Akupun langsung pergi dari Solo ke Jakarta untuk melihatmu. Sebenarnya ibu ingin ikut ke Jakarta, namun kularang karena tubuhnya sudah renta. Akhirnya ibu menyuruhku untuk membawamu balik ke Solo. Ia sungguh kangen sama kamu, Ratna. Ayo kita balik ke Solo!” katanya sambil menggandeng tanganku, namun tanpa kusadari kutepis tangan itu yang dibalas dengan muka penuh kebingungannya.
“Kenapa Ratna? Ayo kita balik!” tanyanya dengan nada yang menyiratkan kebingungan.
“Nggak! Aku nggak mau! Aku sudah betah di sini. Aku sudah bekerja disini, kerjaku lumayan,” dustaku. Entahlah, pikiranku tidak sejalan dengan perkataanku. Aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya terjadi. Mengatakan perasaanku yang juga rindu akan rumah. Semua itu tertutup oleh sikap gengsiku, malu bertemu kerabat, teman, terlebih ibu.
“Ratna, ayolah! Ibu menunggu kita di rumah!” pintanya dengan memohon.
“Jakarta rumahku! Aku nggak punya rumah lagi selain di Jakarta,” teriakku.
“Ratna! Apa maksudmu? Rumah kita ada di Solo, bersama ibu.”
“Kita? Bukannya kamu! Selama ini aku nggak pernah dihargai sekali pun. Nggak sekali pun!”
“Apa-apaan kamu? Kita semua ngehargai kamu. Aku, juga ibu.”
“Alah! Aku tidak peduli, yang jelas aku tidak akan balik ke Solo.”
“Benarkah itu Ratna? Itu benar-benar keinginanmukah?” tanyanya, yang dijawab anggukan kepala dariku.
“Baiklah Ratna! Aku tidak bisa memaksamu jika itu benar-benar keinginanmu. Berita mengecewakan ini akan kusampaikan pada ibu, tapi biarkan aku tahu nomor teleponmu,” pintanya yang langsung kujawab dengan deretan angka nomor teleponku.
Setelah kejadian itu aku kembali bekerja, menjadi waitrees dan sebagainya, hingga untuk beberapa saat aku memikirkan apa yang telah kukatakan kepada Rena ‘Benarkah ini keinginanku yang terdalam? Berpisah dari ibu dan kakakku? Aku tidak tahu.’ Sudahlah, aku tidak dapat berbuat apa-apa, aku tidak boleh memikirkan apa-apa selain pekerjaan-pekerjaanku, karena hanyalah pekerjaan sederhana yang dapat membekali  kehidupanku di Jakarta walau hanya cukup untuk memberiku makan.
Tiga tahun kemudian setelah pertemuanku dengan kakakku, kakakku menelepon dari Solo. Isi teleponnya sama seperti pertemuan terdahulu, memintaku untuk kembali ke rumah, hanya saja dengan alasan yang berbeda. Ibu meninggal!
Seminggu telah berlalu semenjak kepergian ibu ketempat yang tidak dapat kujangkau dan semenjak kedatanganku ke Solo. Tidak seperti kakakku dan kerabat-kerabat lainnya, aku tidak menangis sebegitu parah saat peti ibu dimasukkan ke liang kubur untuk selama-lamanya. Tidak ada kata-kata yang kuucapkan sebagai pengiring kepergian ibu. Dan aku sekarang masih ada di Solo, menyiapkan keberangkatanku untuk kembali ke Jakarta di tengah hari yang hujan ini. Hujan yang menyiratkan kesedihan semua orang akan perginya seorang Karina Lesmana, ibu yang begitu pengertian bagi semua orang tidak hanya bagi keluarganya. Tapi di tengah bebenah untuk kepulanganku, kakak menghampiriku.
“Ratna, ini! Ibu menitip ini untukmu. Aku tak pernah tahu isinya, yang kutahu ibu selalu melihat ini dengan penuh kasih sayang sambil menangis,” kata kakakku memberikan album-album itu sambil menangis. Dan Iapun pergi.
*
Kubuka lembaran album itu satu demi satu. Sejarah kehidupanku seperti diputar kembali, dari semenjak aku anak-anak hingga remaja. Disamping foto-foto itu terdapat tulisan-tulisan halus seperti ’01 Oktober 1983, anak keduaku telah lahir! Seorang perempuan! Cantiknya dia, kuberi dia nama Ratna, semoga ia menjadi anak yang sehat dan bahagia dalam hidupnya.’ atau ’01 Oktober 1984, Ratna tepat berumur satu tahun. Lihat! Pintarnya ia sudah dapat merangkak sambil berkata bu.’ dan lain sebagainya. Banyak kenangan-kenangan yang kulupakan tentang ibu yang selalu ada di sampingku tapi terekam dengan baik di album-album itu. Tak terasa bulir-bulir air mata jatuh dari kelopak mataku. Kulanjutkan membuka lembaran-lembaran itu dengan hati-hati. Semakin aku membuka lembaran itu, semakin dalam pula tangisku. Di tengah album foto itu terdapat sebuah surat yang ditujukkan untukku dari ibu. Isinya sungguh membuatku menyesal akan segala tindakan bodoh yang kuperbuat selama ini.
Untuk : Ratna
Ratna, apa kabarmu? Mungkin ketika kamu membaca surat ini, ibu sudah tidak ada di sampingmu, ibu sudah tidak bisa menemani kamu lagi. Tidak ibu sangka waktu berjalan begitu cepat, padahal ibu merasa kemarin baru saja ibu melihat kamu belajar berjalan, baru saja ibu merasa kamu mengatakan kata pertamamu ‘bu..’, namun lihat sekarang, Ratna kecil yang selalu nakal itu telah menjadi seorang gadis remaja yang mampu berdiri sendiri, mandiri. Pertama-tama ibu ingin memohon maaf akan tamparan yang pernah kamu terima, namun tahukah kamu alasan tamparan itu? Itu kekecewaan ibu akan pertanyaanmu yang mengatakan seharusnya kamu tidak pernah lahir di dunia. Biar ibu beri tahu, Ratna, ibu dan bapak tak pernah menyesal melahirkan kau ke dunia ini. Tidak pernah sekalipun. Bagi kami, kau sumber kebahagiaan kami. Selain itu ibu sungguh minta maaf Ratna, Ibu tidak mempunyai umur yang panjang, maaf  karena ibu bukanlah ibu yang baik,
Ibu tidak bisa memberi kekuatan padamu untuk menjalani hidup ini, ibu juga minta maaf atas segala bandingan yang kamu terima karena Kakakmu. Ibu sungguh minta maaf Ratna. Ibu tahu pasti berat bagimu, untuk tinggal seorang diri, apalagi Jakarta bukanlah pilihan yang mudah. Pasti banyak masalah yang terjadi padamu.  Tapi betapa beratnya masalah itu hingga membuatmu terjatuh, ibu akan tetap berada disini menunggumu berpaling pada ibu. Kembali kepada ibu. Ibu menunggumu dengan tangan terbuka lebar, menunggumu menceritakan segala yang menimpamu, menunggu tangisan atas teriakan hatimu yang telah lama kamu pendam. Mungkin Ibu bukanlah siapa-siapa yang dapat menghapuskan masalah itu, tapi Ibu berharap Ibu dapat meringankannya. Ibu rindu kamu dan sayang kamu, Ratna. Mungkin kamu sudah bosan mendengar ini, tapi kamu mempunyai kelebihan yang tidak kakakmu miliki. Percayalah itu, Ratna dan temukanlah kelebihanmu sendiri. Ratna, ibu sudah tidak sanggup lagi untuk menulis lebih lanjut. Mungkin kita bisa berbincang nanti, ibu sangat mengharapkan itu, walau bukan saat ini. Lanjutkan hidupmu Ratna, ibu selalu mendukungmu dan menyayangimu.
Surat itu membuatku menangis semakin dalam di dalam kesendirianku. Pernah kuberpikir, kehampaanku disebabkan oleh kehormatan dan harga diri yang telah direnggut orang lain, tapi ternyata aku salah. Kehampaan ini disebabkan karena ibu tidak ada di sisiku. Kudekap album foto itu, namun  banyak kertas-kertas kusam yang terjatuh, sepertinya itu diselipkan ibu di belakang album foto itu. Itu adalah karanganku ketika aku duduk di bangku Sekolah Dasar. Karanganku akan perjuangan ibu membesarkan aku dan kakak dengan sepenuh hati tanpa ayah di samping kami. Karanganku tentang ibu yang tidak pernah  membeda-bedakan aku dengan kakakku. Karangan-karangan itu menyadarkanku betapa ibu mencintai anak-anaknya, aku, dan kakakku, karangan itu juga yang menyadarkanku akan kelebihan yang selama ini tak pernah kusadari, sehingga tak pernah kukembangkan. Ya! Menulis! Bahkan sampai akhir pun, ibu tetap membantuku, membantuku menemukan kelebihanku yang selama ini kupermasalahkan.
“Maafkan aku Ibu, aku anak durhaka. Yah, kita akan berbincang nanti di sana setelah aku melanjutkan hidupku untuk menjadi lebih baik, entah di Solo maupun di Jakarta, sebagai seorang penulis. Walau aku tak pernah mengatakan ini kepadamu, aku ingin sekali kau mendengar kataku ini di sana, di tempat yang kuyakini tempat terbaik untukmu, ibu yang paling baik,” kataku kepada surat  itu.
Akupun bangkit ke arah jendela dan membukanya.
“Aku juga sayang padamu, Ibu…” teriakku kepada langit yang menampakkan pelangi sehabis hujan itu.*
Monica Stella, Siswi SMAK Bunda Hati Kudus Jakarta
 
Leave a comment Posted by noeph pada 9 Mei 2011 in Cerpen Indonesia
 

cerpen

Laron


Sedari pagi hujan terus mericis. Hingga menjelang magrib baru liris, menjadi gerimis-gerimis tipis. Ketika langit mulai gelap, dan lampu-lampu rumah dinyalakan, hujan sudah sempurna reda. Satu dua laron mulai muncul dan berputar-putar mengitari lampu di teras rumah. Semakin lama semakin banyak. Bahkan, beberapa sudah mulai menghambur ke dalam rumah, melewati ventilasi dan celah-celah pintu jendela.
Tanpa sepengetahuan bapak, aku membuka pintu depan, sedikit, supaya laron-laron itu bisa masuk ke dalam rumah, dan bisa kuajak bermain dan berbincang-bincang. Tak kurang dari satu menit, laron-laron itu sudah memenuhi ruang tamu, dapur, dan kamar-kamar. Berputar-putar berebut cahaya. Sayap-sayap kecil mereka bertebaran di mana-mana bagai potongan-potongan kertas yang sengaja disemburatkan di pesta ulang tahun atau perayaan-perayaan.
Aku berteriak girang sambil meniupi sayap-sayap laron yang luruh ke lantai. Indah sekali. Aku membayangkan saat itu sedang hujan sayap, sayap peri. Tapi, tiba-tiba bapak muncul dari kamarnya dan berteriak-teriak. Aku mengkerut.
”Dasar bocah gak punya otak, pintunya kok malah dibuka. Laronnya masuk semua, Goblok!” teriak bapak sambil menutup pintu depan yang tadi kubuka sedikit. Ia menutupnya dengan setengah membanting.
”Sayapnya itu sulit disapu. Kamu mau nyapu?” kata bapak lagi sambil mendorong kepalaku dengan kasar.
Dengan sangat cepat, bapak mematikan semua lampu di dalam rumah. Seketika itu semua gelap. Dan aku berteriak ketakutan, memanggil-manggil ibu.
”Ada apa tho ini?” terdengar suara ibu, dan klik, ibu kembali menyalakan lampu.
Dari dalam kamar, bapak berteriak lagi, ”Jangan dinyalakan lampunya! Laronnya biar keluar dulu!”
Ibu tidak menyahut. Ibu segera menggandengku dan membawaku masuk ke dalam kamar. Dari dalam kamarku, aku mendengar bapak mengumpat lagi.
”Kampreeet!! Dibilangin suruh matikan kok….” Dan klik, ruang depan kembali gelap. Hanya lampu kamarku yang menyala. Ibu menutup pintu kamarku rapat-rapat.
”Ditutup, ya, biar laronnya gak masuk,” kata ibu lembut. Aku mengangguk karena di kamarku sudah ada beberapa laron yang beterbangan mengitari lampu, sebagian hinggap di gorden jendela, dan beberapa—yang sayapnya tinggal dua—berpusing-pusing di lantai. Aku tertawa geli melihatnya. Tapi, mendadak aku jadi ingat ketika bapak memusing-musingkan kepalaku dan mengguyuriku dengan air, beberapa waktu lalu, ketika aku asyik bermain keran dan kemudian mematahkannya. Maka, kembali aku bertanya dengan bahasa mata kepada ibu.
”Mengapa bapak suka memarahiku, Bu?”
Ibu tersenyum, diusapnya liur yang hampir menetes dari bibirku yang lebar. Ibu mentapku, ”Bapak tidak marah padamu, bapak cuma tak suka kalau rumah kita ini kotor. Sayap-sayap laron itu bikin kotor. Susah disapu.”
Aku mencerna perkataan ibu, dan memanyunkan bibir sebagai pemakluman. Namun, pemakluman itu masih terasa belum tunai, mengingat perlakuan bapak selama ini padaku. Hati kecilku selalu mengatakan bahwa bapak memang tak pernah suka padaku. Lamat-lamat aku teringat pada sebuah malam, di mana bapak dan ibu bertengkar gara-gara aku tidak menghabiskan makan malam. Malam itu bapak sendiri yang mengambilkan porsiku karena waktu itu ibu belum pulang dari pengajian. Bapak mengambilkan porsiku dua kali lebih banyak dari biasanya—yang diambilkan ibu. Malam itu, bapak terus mengawasiku. Padahal sudah hampir setengah jam aku mendiamkan makananku.
”Habiskan nasinya!” gertakan bapak saat itu membuatku gemetar. Saat itu aku menyesalkan ibu yang tidak pulang-pulang.
”Sekarang beras mahal!” Bapak terus memelototiku sambil sesekali menggebrak meja. Maka, dengan sangat terpaksa nasi itu kumasukkan ke dalam mulutku. Beberapa kali aku ber-”hoek”, hendak muntah.
Bapak semakin geram. Ia mendekatiku dan menjejalkan nasi itu ke mulutku hingga berceceran di lantai. Aku menangis tanpa suara. Saat itulah tiba-tiba ibu datang dan menampik tangan bapak.
”Apa-apaan ini, Pak!?”
Ibu membersihkan nasi yang tumpah di bajuku dan segera membawaku masuk ke dalam kamar. Di luar kudengar bapak berteriak-teriak, ganti memarahi ibu. Agak lirih suara ibu, menuntaskan pembelaan. Namun suara bapak semakin menggelegar, ia mengeluarkan sumpah serapah yang tak kupahami artinya.
”Sudah kubilang, dari dulu, bocah cacat itu dititipkan ke panti asuhan saja. Biar tidak merepotkan kita.” Suara bapak terdengar jelas dari kamarku, disusul suara ibu yang terdengar seperti menangis.
”Gusti Allah menitipkan dia buat kita, Pak! Dia anak kita! Satu-satunya!”
Selanjutnya kudengar bapak meneriakkan namaku dengan sebutan bocah idiot, autis, bisu, gagu, dan seterusnya… yang direnteti ungkapan penyesalan seperti dendam.
Beberapa kali terdengar suara ibu menyela dan meninggi, meminta bapak beristigfar. Kudengar juga ibu mengumpat bapak dengan sebutan ”seperti orang tak tahu agama”. Maka terdengar suara plak, kulit beradu kulit, dan setelah itu sepi.
***
Ibu mengusap rambutku ke belakang. Kemudian ibu bercerita panjang tentang bapak. Kata ibu, sebenarnya bapak sangat sayang padaku. Hanya saja, bapak tak suka bila aku berbuat nakal.
”Maka dari itu, kamu tak boleh nakal lagi, yang nurut sama bapak,” kata ibu kemudian.
Aku jadi sangsi pada perkataan ibu, bukankah selama ini aku selalu menuruti perkataan bapak. Bahkan, ketika bapak memintaku mengambil makanan yang telah kubuang di tempat sampah dan memakannya kembali, aku menurutinya. Tentu waktu itu ibu tidak tahu.
”Janji, ya!” kata ibu lagi. Aku mengangguk saja hingga ibu mengecup keningku dan beringsut meninggalkan kamarku.
Di dalam kamar, aku sudah tidak lagi memikirkan perkataan ibu ataupun perangai bapak padaku. Yang kupikirkan adalah laron-laron itu. Sebenarnya aku berniat membuka jendela kamarku supaya laron-laron di luar bisa turut masuk ke kamarku. Tapi hal itu kuurungkan. Aku takut, kalau membuka jendela kamar termasuk perbuatan nakal yang tidak disukai bapak. Maka aku bermain dengan laron-laron yang ada di kamarku saja. Sebagian besar dari mereka sudah gundul, tanpa sayap. Mereka berjalan beriringan di sudut-sudut lantai. Yang berputar-putar seperti gasing juga masih ada.
Aku mendekati laron-laron itu dan mengajaknya bermain. Tapi, ketika jari telunjukku menyentuh laron-laron itu, mendadak laron-laron itu berhenti bergerak. Kemudian, laron-laron itu mengeluarkan suara.
”Kami sudah gundul, pesta kami sudah usai. Ternyata pesta kami sangat singkat,” katanya.
”Sekarang kalian mau ke mana?” tanyaku.
”Menemui ajal,” jawab mereka.
”Jika kami tahu, pesta kami sangat singkat, dan sayap-sayap kami sangat rapuh, kami akan memilih untuk tetap menjadi rayap,” kata laron yang lainnya.
”Mengapa?” tanyaku lagi.
”Kami tak pernah merasa cukup menjadi rayap tanah, kami ingin punya sayap dan terbang bebas menikmati cahaya. Dan inilah yang terjadi….”
”Apa yang terjadi?”
”Kamu lihat sendiri. Kami hanya berputar-putar menunggu mati. Hidup kami akan berakhir di perut katak atau cicak. Kalau lebih buruk lagi, kami akan mati terinjak-injak manusia, tak bersisa, dan tak pernah berarti apa-apa. Semoga kamu tidak menjadi seperti kami.”
”Menjadi laron?”
”Bukan!”
”Menjadi apa?”
”Menjadi makhluk yang tidak pernah puas menerima pemberian Tuhan, anugerah Tuhan.”
Tiba-tiba aku teringat bapak.
”Sudah! Biarkan kami pergi,” kata laron itu lagi.
”Pergi ke mana?”
”Maut. Kami harus menemui takdir kami.”
”Kalau begitu kalian kupelihara saja.”
”Jangan! Kami sangat bau. Nanti kamu dimarahi bapakmu lagi.”
”Kalian kusembunyikan saja di kamarku.”
***
Diam-diam, aku membuka pintu kamar. Berjingkat ke dapur, mengambil rantang plastik di rak piring. Jika bapak atau ibu memergokiku, aku akan bilang kebelet pipis. Tapi bapak ataupun ibu tak memergokiku. Aku berhasil kembali ke kamarku dengan selamat. Kukunci pintu kamarku rapat-rapat. Aku membuka jendela kamarku lebar-lebar, seperti orang lupa. Saat laron-laron dari luar berhamburan ke dalam kamarku, sama sekali aku lupa soal bapak. Yang kutahu hanya bahwa detik itu—saat laron-laron beterbangan menuju kamarku—adalah sebuah pemandangan yang menakjubkan. Kubayangkan kamarku penuh oleh peri-peri kecil yang berkerik lirih dan merdu.
***
Aku senang sekali, malam itu, bapak ataupun ibu tidak kembali ke kamarku. Pasti mereka mengira aku sudah tidur. Padahal, malam itu aku begadang sampai larut malam. Memunguti laron-laron itu dan memasukannya ke dalam rantang plastik. Sayap-sayap yang berceceran di lantai kubersihkan dengan kertas basah yang kulumuri ludah. Kutempelkan kertas basah itu perlahan ke sayap-sayap yang berceceran. Ternyata mudah sekali membersihkan sayap laron. Setelah kamarku bersih. Aku membuang kertas-kertas basah yang penuh sayap itu keluar jendela. Kututup kembali jendela kamarku pelan-pelan. Kututup pula rantang plastik yang penuh laron itu dengan sebuah buku tulis tebal sebelum akhirnya kudorong ke bawah ranjang dan kutinggal tidur.
***
Pagi-pagi sekali ibu sudah membangunkanku. ”Kenapa pintunya kok dikunci?” tanya ibu. Aku menatap ibu sambil mengibaskan tangan. Ibu paham yang kumaksudkan supaya laronnya tidak masuk. Hatiku agak tidak enak membohongi ibu. Tapi aku juga kasihan pada laron-laron itu. Ibu menyuruhku segera mandi. Detik itu aku berdoa semoga ibu tidak menggeledah kamarku. Apalagi bapak. Tapi doaku muspra, tak terwujud. Karena tiba-tiba bapak datang dan mengendus bau kamarku.
”Kamar ini kok bau laron busuk, ya?” tukasnya. Hidungnya mengendus seperti tikus.
Hatiku sudah tidak enak. Ibu mengingatkanku kembali untuk lekas-lekas mandi. Aku berjalan ke kamar mandi dengan hati cemas. Aku pun mandi ala kadarnya. Kalau tidak dimandikan ibu, aku memang tak pernah mau mandi memakai sabun. Apalagi gosok gigi. Dan tampaknya, pagi itu ibu masih sibuk membersihkan sayap laron di dapur, kamarnya, dan ruang tamu. Selepas mandi, aku buru-buru ke kamar. Kutengok kolong ranjangku, dan rantang plastik berisi laron yang kututupi dengan buku tulis sudah raib, tak ada di sana. Aku tersentak dan hampir terpeleset ketika tiba-tiba bapak menyeret telingaku dan membawaku ke muka ibu.
”Lihat ini!” bapak melemparkan rantang plastik berisi laron itu ke depan ibu. Laron-laron itu tumpah dan merayap ke mana-mana. Secepat kilat ibu merapikannya dan membawanya ke dapur. Bapak menyusul ibu ke dapur.
”Semalam dia tak tidur; kau lihat pula sana, di bawah jendela kamarnya!” kata bapak lagi. Telingaku terasa nyeri, tapi tangan bapak masih utuh di sana.
”Kau membohongi ibu?” tutur ibu berkabut.
Aku mulai menangis. Air mataku mulai meleleh. Tapi tak seulas suara pun keluar dari mulutku. Ibu meninggalkanku dengan tatapan kecewa, ia berjalan menuju kamarku. Bapak masih menyeret telingaku, menyusul ibu. Di kamar ibu menengok keluar jendela dan menggelengkan kepala beberapa kali. Lantas ibu pergi begitu saja. Tapi matanya merah, seperti mau menangis. Sementara ibu pergi, bapak menghujani pipiku dengan tamparan. Dijambaknya rambutku sebelum akhirnya aku dilempar ke ranjang.
Di dalam kamar, aku sesenggukan menahan nyeri. Hingga akhirnya ibu datang dengan membawa salep dan sapu tangan. Setelah mengusap wajahku. Ibu menidurkan aku di pangkuannya.
***
Aku masih belum berani keluar kamar dan bertemu bapak, hingga akhirnya ibu menuntunku ke ruang tengah untuk makan malam. Di sana kulirik bapak dengan wajahnya yang dingin seperti batu. Ibu mengambilkan aku nasi dan sayur. Perlahan kutilik satu demi satu lauk-pauk yang terhidang di meja. Hingga mataku mendarat pada sebuah toples berisi rempeyek dengan bintik-bintik hitam. Semula, aku mengira rempeyek yang dibuat ibu adalah rempeyek kedelai hitam. Namun, mendadak bapak berkomentar.
”Rempeyek laronnya gurih sekali.”
Aku mengangkat wajah. Memerhatikan bapak yang tengah lahap mengganyang rempeyek laron. Tak henti-henti bapak mengudapnya. Habis satu, ia ambil lagi dari dalam toples hingga rempeyek dalam toples tinggal separuh. Saksama kuperhatikan mulut bapak yang terus bergerak mengunyah rempeyek laron itu. Kuperhatikan mulut itu, bibir itu, gigi itu, lidah itu. Sungguh sangat menjijikkan. Dalam penglihatanku, bapak sudah menjelma menjadi seekor katak raksasa yang mengunyah serangga sampai sayap-sayapnya.
Tanpa sadar, kulemparkan piring berisi nasi dan lauk-pauk ke arah katak raksasa yang sedang mengunyah serangga itu. Dan lemparanku tepat mengenai kepalanya. Nasi berceceran di atas meja. Piring jatuh ke lantai, berdentang serak dan pecah menjadi beberapa keping. Tiba-tiba kulihat bapak memegangi kepalanya yang berdarah-darah. Matanya mendelik ke arahku. Mata yang berkilau dan tajam, seperti hendak menikamku.***
Malang, Desember 2010
 
Leave a comment Posted by noeph pada 9 Mei 2011 in Cerpen Indonesia
 

cerpen

Botol Kubur

with 33 comments
i
22 suara
Quantcast

Jangan petuahi kami perihal amal dan dosa. Usah pula berbuih ludah mendongengkan elok surga dan bengis neraka. Kelaparan lebih mengerikan dari kematian. Jika mati sudah ketetapan, lapar adalah bagian dari kekalahan. Kami pasrah dijemput maut kapan saja, tapi kami enggan mati dengan perut kosong. Maka biarkanlah botol-botol yang mereka tikam ke tanah itu menjadi jalan rezeki kami.
Kuingat kali pertama mencari botol di kuburan. Angin yang membentur bulu tengkuk terasa lebih dingin dari biasanya. Gugup campur cemas, bergetar jemariku saat menggenggam dan mencabut pantat botol dari pucuk makam. Sekilas kubaca nama, tanggal lahir dan tanggal kematian yang tertera dengan cat hitam di kayu nisan. Antara bergumam-berbisik, kuminta maaf pada pemiliknya yang sedang tidur di bawah sana. Malamnya mataku sulit terpejam. Rusuh hati membayangkan arwah pemilik botol menyelinap masuk ke dalam mimpi, menyumpahserapahiku yang lancang mencabut botol dan menyuruhku mengembalikannya ke tempat semula.
Pengalaman pertama memang guru terbaik. Kini, buatku, mencabut botol di kuburan telah menjadi hal biasa saja layaknya makan, berak, ketawa, atau kentut. Entah berapa botol kuburan yang telah kucabuti. Melihat botol menancap di gundukan makam bagai memergoki uang yang berkilat-kilat disorot cahaya matahari. Saat mencabutnya, tak lupa kuingatkan pada orang di dalam sana agar jangan mengutukku gara-gara sebiji botol. Sebagai imbalan, kubersihkan sampah yang berserak di sekitar makam mereka. Agar kian iba, acap kutambah-tambahi: kami membantu orangtua cari nafkah, hanya ingin bertahan hidup, atau botol itu sangat berharga buat orang miskin macam kami. Mengingatnya, aku nyengir sendiri. Serupa orang bodoh saja bicara pada angin. Untuk apa minta izin pada tulang belulang, pada daging yang telah lebur dengan tanah, pada jasad yang busuk bersama waktu?
Yang tak bernyali mencabut botol kuburan, acap menakuti-nakuti: di sana angker, rumah segala jenis hantu, nanti kualat, kesambet makhluk halus, dikutuk arwah yang murka. Yang sok alim menggurui: jangan menumpuk dosa. Ah, soal itu, biar Tuhan yang menimbang. Kami pasrah, terima bersih saja. Kami hanya menumpuk barang bekas. Ada pula yang mencetus, kelak kami akan diganjar di neraka; botol-botol itu akan ditancapkan ke anus kami. Ada yang terbahak-bahak mendengarnya, ada pula yang kontan terdiam dan berwajah murung.
***
Kami anjing-anjing kecil yang besar di jalanan. Diasuh debu kemarau dan hujan yang riang. Selain bak sampah, taman kota, terminal, trotoar, lorong-lorong pertokoan, atau pasar becek bau bacin, kuburan pun jadi ladang pemulung cilik macam kami. Dalam kelompok-kelompok kecil—tak pernah ada yang nekat pergi sendirian—kami sambangi kuburan.
Jika ada yang sok iba bertanya tentang orangtua, keluarga, atau kenapa tak sekolah; kami punya jawaban berbeda untuk pertanyaan yang sama. Senang rasanya membuat mereka terdiam, menghela napas, atau bermimik sedih. Tak perlu sekolah untuk pandai berbohong. Jika berpapasan dengan anak-anak berseragam sekolah di jalan, tak sungkan pula kami rampas apa yang mereka punya: termos minuman, topi, tas, sepatu. Ada juga yang mujur berhasil merampas telepon genggam mereka.
Kami hanya takut pada Bang Gayu, duda empat puluhan, tukang mabuk dan buat onar. Hampir tiap hari kami dipalaknya. Kami muak, tapi tak berdaya. Mata kirinya picek. Kabarnya, waktu bujang, mata itu ditujah sesama preman yang berebut wilayah kekuasaan. Bang Gayu terkenal doyan mengendap malam-malam, mengintip perempuan tidur. Yang lebih parah bila dia kumat, salah satu dari kami akan dibawanya pergi ke tempat sepi. Meski tengah malam, kami tak bisa mengelak di bawah ancaman. Hanya bisa pulang meringis menahan nyeri di dubur.
***
Kami mendarat siang bolong di pemakaman umum yang terimpit di antara rumah-rumah penduduk. Mirip stasiun berjejal penumpang di ambang lebaran, nyaris semua kuburan yang kami datangi telah sesak menampung jasad manusia. Makam-makam yang kompak menghadap ke satu arah itu bagai kerumunan manusia yang gelisah menunggu moncong kereta muncul dari barat. Tak perlu peta untuk menuntun dari satu kuburan ke kuburan lainnya. Peta tak punya jemari untuk memungut dan menghirup kamboja yang tumbang disentuh angin. Peta tak punya mata kaki untuk menghindari lumpur selepas hujan. Lebih dari itu, ia tak bisa mengendus aroma kematian.
Matahari menancapkan panah-panah teriknya ke ubun- ubun. Ada kincir bambu bungkam dekat asap tipis sisa pembakaran sampah. Bunga-bunga kamboja berserak. Ayam-ayam liar mengorek-ngorek tanah. Konvoi semut hitam di atas marmer putih. Cacing, ulat, dan kaki seribu menyelinap ke balik sampah dedaunan. Banyak makam telah berlapis keramik dan berpagar runcing. Tak sedikit pula yang telantar, nyaris rata dengan tanah, bertahun tak diziarahi keluarganya. Pohon-pohon besar menjulang nampak angker. Seperti ada yang mengintai kami dari balik kelam dahan dan batangnya. Di beberapa kuburan, ada semacam pondok sederhana. Konon, di dalam- nya ada makam keramat orang-orang sakti atau disegani di masa lampau.
Tempat yang sesekali ramai bila ada yang mati, mirip pasar tumpah menjelang dan saat hari raya, senyap muram di hari-hari biasa itu; memang bisa jadi tempat rehat yang enak. Kami tak ada alasan untuk bergegas di sana. Pun tak perlu lagi beruluk salam, sopan santun saat memasuki gerbangnya. Zaman sekarang, salam cuma basa-basi, tak lahir dari hati. Sehangat-hangat salam, masih lebih hangat tahi ayam yang terinjak kaki kami.
Dengan karung kumal, kami berpencar layaknya bermain di tanah lapang. Mata kami jelalatan mengincar makam yang nampak baru, sebab di sanalah biasanya teronggok barang yang diburu. Kebanyakan botol bening bekas sirup, bukan bekas kecap, apalagi minuman keras. Jarang ada botol menancap di makam-makam yang sudah dimarmer.
Mataku tersenyum memergoki botol bening hampa yang nyaris menempel dengan kayu nisan. Mulut botol menancap dalam tanah. Pantatnya nungging miring menuding langit. Airnya telah lama lesap dalam tanah. Hanya butir-butir tanah kering menempel di badannya. Mungkin sisa hujan beberapa hari silam. Kembang-kembang aneka warna yang bertabur sepanjang puncak gundukan telah layu. Tak ingin disalip saingan, jemari kananku mencengkeram pantat botol itu. Perlahan dan hati-hati mencabutnya, jangan sampai mengusik tidur orang di dalam sana. Lega rasanya saat botol itu sudah kulesakkan ke dalam karung lusuh kumal.
Kami seret langkah keluar kuburan diiringi suara ngilu gesekan botol dalam karung. Botol-botol itu tak langsung kami jual, tapi ditumpuk bersama barang-barang rongsok lainnya. Seminggu kemudian baru kami usung ke lapak pengepul, menukarnya dengan lembar-lembar uang yang tak sampai setengah jam digenggam sebelum pindah ke tangan orangtua. Itulah yang kelak mengisi periuk dan bakul nasi di gubuk kami. Andai kami dapat upah, lekas habis kami tukar makanan murahan atau es degan.
Beberapa kali kami bergunjing kenapa botol-botol itu ditancapkan ke makam orang yang baru ditanam? Bukankah sia-sia menelantarkannya di kuburan? Bukankah mereka yang sudah mati tak bisa merasakan apa-apa lagi? Beragam pendapat kami: sebagai obat dahaga buat mereka di alam sana, agar yang berkalang tanah selalu segar, dan lainnya. Yang pasti, mereka yang menikam botol itu tentu tak menduga kelak ada yang mencabutnya. Ah, kenapa bukan uang saja yang ditancapkan di gundukan tanah itu agar kerja kami jadi lebih mudah?
Memang pernah ada yang meriang setelah mencabut botol kuburan. Mukanya pucat pasi. Semula kami kira masuk angin biasa. Punggungnya sudah di kerok, tapi tak ada perubahan berarti. Dia terus saja menggigil. Kami panik, tak ada yang tahu penyakit apa yang merongrong tubuhnya. Ada yang berbisik, dia kesambet jin penunggu pohon besar di tengah kuburan karena kencing sembarangan di sana. Untung dia sembuh begitu saja hingga terhindar dari rumah sakit. Dia pun tak jera mengulang perbuatannya.
***
Tak selalu mulus hajat kami memetik botol di kuburan. Acap kami keluar dengan tangan kosong dan hati dongkol. Pasalnya? Tertangkap basah orang lain! Mungkin warga sekitar yang mengurus kuburan, tukang gali kubur, atau tukang ngaji kubur. Segerombol pemulung cilik kumal keliaran dalam pemakaman umum barangkali memancing rasa curiga mereka. Kami seperti diintai dari tempat tersembunyi lalu mereka muncul tiba-tiba begitu memergoki apa yang kami perbuat. Meski serupa tapi tak sama, kami telah hafal hardikan mereka:
”Kembalikan botol-botol itu!”
”Kecil-kecil sudah jadi maling!”
”Cari sampah di tempat lain!”
”Banyak jalan cari duit, bukan maling botol di kuburan!”
Kami, anjing-anjing kecil dengan hati ciut, terbirit-birit menjangkahi makam demi makam. Menjauhi mereka, orang-orang uzur yang tampaknya mengidap penyakit darah tinggi hingga mudah murka. Sepanjang jalan pulang, gantian kami rutuki mereka. Macam kami tak tahu saja, mereka juga kerap dapat rezeki lewat orang mati. Sudah miskin, kedekut pula. Arwah pemilik botol dan hantu yang mukim di pohon-pohon dalam kuburan lebih baik ketimbang orang-orang yang menggebah menimpuki kami. Mereka tak pernah muncul tiba-tiba untuk mendamprat kami. Mereka yang lelap berserak dalam tanah itu lebih maklum, kami datang diseret angin kemiskinan.
Dan ini rahasia perusahaan. Tak pernah kami bocorkan muasal botol kepada pengepul. Patah ranting rezeki kami jika mereka tahu. Terbayanglah mimiknya bila tahu dari mana asal botol-botol itu. Pengepul pun menolak botol bermulut sumbing. Tak laku dijual ke bos besar, dalihnya. Siapa, di mana, dan bagaimana sosok bos besar itu, kami tak pernah tahu. Yang pasti, tiap mencabut botol, kami amati dulu bibirnya. Jika cacat, kami kembalikan ke tempat semula. Tak mau dua kali lipat kalah kami. Sudah tambah dosa, botol urung jadi uang pula. Belum lagi jika pengepul lengit mencatut jumlah timbangan dan seenak udel mematok harga rongsokan yang kami bawa.
***
Bang Gayu mati anjing. Tengah malam tadi dia ditikam empat lubang entah oleh siapa. Kami pura-pura kaget, tapi dalam hati bersyukur. Sempat kudengar bisik orang-orang yang mengekor saat mengantar kerandanya ke kuburan: ”Nggak usah diberi air. Tancapkan saja sebotol anggur murahan untuk menemaninya dalam kubur…” Kami terkekeh mendengarnya. Meski melarat, orang-orang tua kampung kami masih suka guyon. Orang mati pun bisa dijadikan bahan kelakar.
Sepoi embus angin ambang petang. Ketika orang-orang pergi dan kuburan sudah sepi, kami bersijingkat menyambangi makamnya. Kami amati gundukan tanah merah bertabur kembang. Kami senang dia mati. Hilang satu masalah. Kami terkekeh melihat seorang teman mencabut botol yang baru beberapa jam menancap di kuburnya. Aku tersenyum kecut memergoki lubang kecil bekas botol itu.
Kubuka retsleting celana. Serupa anjing kencing, kunaikkan kaki kiri ke nisan kayu. Kuarahkan rudal ke sasaran. Sekedip kemudian, air kekuningan berdesis membentur gundukan tanah. ”Ini minuman tambahan untukmu, Anjing Tua…” kataku sambil menatap namanya di nisan kayu. ”Balaslah sekarang kalau kau bisa…” disambut kekeh yang lainnya.
Dendam yang berkarat dalam benak kami akhirnya tunai. Ada kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata saat menyaksikan air menciprati kayu nisan dan gelembung-gelembung kecil memenuhi lubang bekas botol. Pengalaman pertama memang guru terbaik. Kami tak peduli bila kelak di neraka, anus kami berkali-kali dijejali botol. Orang dalam kubur ini, yang botolnya kami cabut dan makamnya kami kencingi, telah mengajari kami bagaimana sakitnya.
 
Leave a comment Posted by noeph pada 9 Mei 2011 in Cerpen Indonesia
 

cerpen

Cong
Oleh Diwana Fikri Aghniya
Nun di malam yang bunting, baru saja gelap melahirkan bulan. Bulat dalam busana perak bergulung temaram. Di bawah pendaran cahaya bulan yang terpencang perak itu, Cong dan aku sedang tidur di pinggir jalan dingin yang dipeluk hitam. Sementara ombak kesedihan sepertinya bergemuruh keras di dalam hati Cong. Tentu saja jalanan sedang kosong, dengan leluasa Cong merebahkan tubuhnya di jalan, di atas debu pekat, kerikil lara dan keretakan aspal. Entah apa yang dipikirkan Cong, tidur di jalan bukanlah sesuatu yang enak. Namun apalah daya, aku dan Cong memanglah tinggal di  jalanan. Tinggal berkawan bersama pengamen, mengais makanan dari tong sampah, menderita bersama pengemis, berilmu dari tikus got yang berloncatan, belajar terbang dari kelelawar dan bersahabat dengan asap knalpot. Ya, itulah kehidupanku dan Cong selama ini, kehidupan yang tak bisa menyenangkan walau dibayar oleh uang seribu rupiah.
Sungguh, kami memang lahir sebagai anak jalanan, namun Cong sangat ingin bersekolah. Keinginan bersekolah Cong berawal dari seorang kakek yang pernah menawarkannya sekolah. Kata kakek, dengan sekolah kita bisa menjadi presiden, dokter, atau astronot bahkan bisa lebih pinter dari guru. Ya astronot! betapa Cong ingin menjadi astronot, menjelajah bulan yang selalu ia lihat selama ini, ataupun mengungkap rahasia langit yang selama ini selalu menjadi teka teki bagi dirinya. Namun kabarnya sang kakek membual, tak menepati janjinya. Sejak kejadian itu semangat Cong bersekolah malah semakin membara, semangat ingin bersekolah seolah tungku pembakaran dengan kobaran api yang riang. Bila Cong dan aku bersekolah, mungkin kami sudah SMP. Tapi kenyataannya kami tidak sekolah. Makan saja sudah untung. Terkadang semangatnya yang meledak-ledak itu sering membuatku iba.
Toh, walaupun saya tak punya orang tua dan saya miskin, yang penting saya masih ingin sekolah dan punya cita-cita jadi orang yang kaya ilmu, kaya hati, kaya iman!” pekik Cong padaku. Aku yang memang sedang tidur di samping Cong tiba-tiba saja terperangah. Mataku terbelalak, sementara tawa yang keras meledak dari pita suaraku.
“Hahaha, Gusti! Cong…Cong…, berkali-kali kubilang, kamu itu cuma anak jalanan. Kenyataannya kamu lahir di jalan, mati di jalan, bahkan buang tahik pun di jalan. Beda dong! dengan anak-anak yang tinggal di rumah gedong, tidur pakai AC dan tiap hari gunta-ganti HP!”
Sesungguhnya, di balik perkataanku itu, hatiku sedang tertikam dan tertancap rasa iba. Aku hanya bisa menatapnya, menatap mata merah-nya yang selalu kelihatan seperti stroberi itu. Sesaat saja, mata Cong jadi berubah, kini ia menatap dengan tatapan lunak sambil menggigit bibir. Mulutnya yang semula terkatup, kini melolong panjang dan keras.
“Astaga, Din! Jahat! Kamu kan temen saya, kita dibuang sewaktu bayi sama-sama. Besar sama-sama, tidur sama-sama, makan pun sama-sama. Masak kamu jahat. Berengsek lu! Lagihan Cong kan cuma pengen sekolah, apa berlebihan, Din?!”
“Sekolah?! Matematika saja kamu gak ngerti Ngitung duit ngamen pun paling banyak cuma 7500, pikirkanlah Cong. Aku berkata seperti ini karena kasihan sama kamu. Gimana juga kita tak mungkin sekolah.”
Baru saja di malam yang hening dan pucat itu aku terhenyak kaget, tersentak hingga kelopak-kelopak hatiku berguguran. Dari matanya yang merah itu, akhirnya bisa kutemukan perbedaan Cong dari kawan-kawan pengamen yang lain. Cong sungguh berbeda dari anak-anak jalanan yang cuma bisa bisa merokok, nge-lem, dan ngamen. Ia punya semangat yang luar biasa tak tertandingi dalam keinginan bersekolah. Tapi, sudahlah, mungkin aku dan Cong memang lahir di rahim yang salah. Mungkin kami berdua seharusnya lahir dari anak jendral, ilmuwan atau presiden tapi ternyata kami lahir entah dari apa. Tiba-tiba saja lahir di jalan dan dibesarkan pula oleh orang jalan.
Cong menghempaskan nafasnya padaku. Alisnya loncat, kemudian  memalingkan muka.
Mending molor buruan! Bukannya kamu capek dengerin omonganku, kan?!”
Emang…” kucoba sedikit menggodanya, tapi ia berdiam patung. Hening yang panjang.
Kami berdua pun tidur sambil menatap jalan, di antara kumpulan cahaya remang dan rangkaian sampah di pertikungan. Suasana malam pekat bersenyawa dengan debu.
Sesekali mobil lewat dengan deru mesin menggerung sangar, tapi kami tertidur nyenyak. Kami sudah biasa.
*
Senin pagi adalah hari di mana Cong selalu terlihat sendu, dari tingkah lakunya yang selalu gila, liar, meriah dan sumringah, anehnya jadi sepi. Seolah tubuhnya yang kuyu, terlarut dalam genangan hitam dan hilang di antara wewangian kemboja. Selalu saja, setiap hari Senin, ia tidak ngamen, apalagi mandi. Apalah yang dipikirkan Cong? Terus saja menatap remaja-remaja berseragam yang lalu-lalang di hadapannya. Cong seperti demam orang berseragam. Setiap ada orang berseragam lewat di hadapannya, matanya selalu beribinar penuh pukau sesak harap. Sesungguhnya Cong sangat iri pada mereka. Sudah berkali-kali ia katakan padaku, bahwa ia ingin lebih pintar dari orang-orang berseragam itu, dan bahwa ia ingin menjadi sukses agar dapat menolong orang-orang yang bernasib sama seperti dirinya. Tapi kenyataanya adalah kepahitan yang terpaksa ia telan bulat-bulat. Cong hanya bisa terpaku di antara orang-orang berseragam yang tak mempedulikan dirinya yang basah oleh air mata dan tergeletak kuyu seperti tumpukan sampah daging. Namun bagiku Cong bukanlah tumpukan sampah daging, Cong itu hidup! Tidak seperti orang-orang yang menengok dirinya dengan hati yang mati, hati Cong berbeda, hatinya hidup!
Selama ini aku hanya bisa menggeleng-geleng kepala. Betapa rusak nasib Cong dan aku. Lahir di jalan, mati di jalan, apakah itu hidup yang memang harus kami pegang? Oh tentu kami tidak ingin! Biarlah kami menjadi seonggok daging di pinggir jalan dan biarlah aku mati, asal Cong bisa sekolah dan asal Cong bisa menolong sesama sampah. Mungkin kalau dia sekolah, ia bisa menjadi dokter, dosen, profesor, presiden bahkan astronot, seperti yang selalu ia cita-citakan.
Kini aku hanya bisa berdiri di hadapannya, ia melamun. Aku tak dipedulikan. Kucoba mendekatinya sambil menepuk bahunya yang kurus itu.
“Cong! kamu gak ngamen? kalo kamu gak ngamen, ntar kita makan apa?”
Udahlah Din, biasanya aku kan ngais dari tong sampah. Kadang-kadang ada saja orang yang buang makanan enak di situ.”
“Yeeeh! kalo gak dapet duit, ntar kagak bisa nyetor ke Mang Aya. Bisa-bisa kita dipukul pake tongkat, kayak dulu lagi!”
Cong hanya mendengus setelah mendengar ucapanku yang nyangkut di ceruk telinganya. Ia rebahkan tubuhnya yang kusam di dinding kelabu yang penuh dengan coretan piloks dan gambar penis yang sangat besar.
Masih segar dalam ingatanku ketika pertama kali Cong mencoret dinding kelabu yang dulunya masih polos itu dengan sketsa gambar sekolah memakai sebatang kapur. Begitu indah, gambar sekolah yang megah, lengkap dengan deretan kelas dan tiang bendera merah putih yang seolah berkibar penuh semangat di lapangannya. Namun kini dinding itu malah dipenuhi coretan piloks berbahasa kasar dan gambar penis. Sungguh kurang ajar.
Sambil merebahkan tubuhnya di dinding itu, pikiran Cong menerawang jauh, melebihi jalanan padat kota yang kusut, menerjang kerumunan manusia berwajah sibuk dan menembus gedung-gedung penusuk langit. Pikirannya tertuju pada satu arah: sekolah. Sekolah bagaikan surga bagi Cong. Di mana air ilmu mengalir seperti teladas di sungai yang teduh, lembaran kertas buku berterbangan bagai kupu-kupu, lengkap dengan bunga kesuksesan yang mekar di halamannya. Sekolah memang surga, mungkin pikir Cong.
Cong adalah saudaraku, yeah memang saudara abadi biarpun tak sedarah. Cong berkulit gelap dengan pakaian compang-camping namun hatinya lebih mulia dari pada emas. Tak pernah menyakiti, bahkan pada seekor burung.
Sewaktu kecil kami hampir saja buta huruf. Kami sangat ingat ketika kami meminta tolong pada tukang koran agar kami bisa membaca. Mula-mula tukang koran itu terbahak memandang kami seperti tahik. Jijik. Tapi entah kenapa, setelah seminggu kami memelas padanya, tukang koran menjadi sangat kasihan dan sangat takjub pada semangat kami. Kami diajari membaca, hingga akhirnya Cong membaca kalimat pertama yang kebetulan melintas di hadapannya: BUS DAMRI. “B, u, bu, es. D, a, Da, em, r i, ri. Bus Damri!!! Yeah!”
Ketika itu dapat kutangkap sinyal kebahagiaan Cong bersinar bagai pelita. Meresap ke relung jiwa.
*
Suatu hari Cong memekik padaku dari kejauhan, ia sedang duduk di bawah pohon yang rimbun dan teduh. Ia memanggilku dengan suara penuh harap di antara angin yang bersiul pelan. Aku bergegas menghampirinya, mencoba membalas sapaan wajahnya yang gembira dengan wajahku yang tersenyum cerah padanya.
“Ada apa, Cong? Kayaknya senang banget?”
“Lihat selebaran ini, selebaran sekolah gratis buat anak jalanan. Kau tengok saja baik-baik selebaran di tanganku ini! Kau pasti suka!” matanya berapi-api, membara berkobar.
“Selebaran? Selebaran apa? Aku tak melihat apa-apa di tanganmu, Cong?”
“Astaga, Din! Coba kau pandang ini! Ya selebaran ini! Masak gak kelihatan!”
Bener, Cong! aku gak lihat apa-apa!”
Cong terpaku mendengar ucapanku, ia kemudian melirik tangannya dan menggosok mata merahnya dengan jemarinya yang kurus.
“Ya ampun, betul Din! Selebaran tadi ada di tanganku, sungguh aku melihatnya di tanganku! Selebaran itu isinya sekolah gratis bagi anak jalanan, katanya di Cikudapateuh. Gak jauh dari sini tinggal naik kereta besok! statsiun kan dekat dari sini!”
“Tapi aku gak lihat selebaran itu Cong?”
“Aku yakin! Tadi kubaca selebaran itu di tanganku, kalaupun gak ada mungkin cuma hilang. Soalnya aku yakin selebaran tadi ada terus kubaca!”
“Kau yakin?”
Cong hanya mengangguk tersenyum. kemudian ia meninggalkanku. Ia hanya melambai dan bilang padaku bahwa ia akan pergi membeli buku tulis murah dengan uangnya. Ia berjanji akan kembali setelah sore datang membayang. Aku terheran, apakah selebaran yang tadi dilihat Cong itu memang benar adanya? Ataukah selebaran itu hanya lamunan Cong? Segalanya berputar di kepalaku, namun aku tak pernah melihat Cong seyakin itu sebelumnya. Karena rasa kasihan , aku percaya saja apa yang dikatakan Cong. Aku pasti ikut dengan Cong naik kereta besok, untuk pergi ke sekolah. Aku senang. Pasti.
*
Awal pagi yang karam, sebuah hari baru terbit menerangi tubuh kami yang gelap. Hari ini kuturuti saja keinginan Cong, pergi ke sekolah. Aroma pagi terharum lembut mengusap penciuman kami. Langit membiru dalam sesatan cahaya, berhias awan tipis dan deru serpih angin yang meniup rambut kami. Seluruh jalan menjadi biru. Dengung kendaraan hilir-mudik sibuk di jalan. Angin menyergap tubuh kami dengan harmoni kesejukan yang baru. Cong tertegap diantara pesona gemerlapan pagi hari, percaya diri. Ia dengan penuh kesyahduan berjalan menuju statsiun. Dari tadi, aku hanya memperhatikan Cong, wajahnya seolah menampilkan warna cerah baru, di punggungnya tertancap ransel butut yang ia temukan entah di mana. Kata Cong, di dalam ranselnya, ada buku yang ia beli murah kemarin, disitu juga ada kertas-kertas bekas yang masih kosong juga pensil yang sudah diraut pakai pisau semalam. Selama perjalanan, wajah Cong bersemi-semi, menghadirkan kelopak wajah yang berwarna sumringah. Cong senang bukan main.
Kami berlari memasuki statsiun. Nampak penumpang kereta yang lalu lalang dengan berbagai wajah, sendu, segar ada juga yang lelah. Juga ada petugas. Astaga! Petugas! Kami tak sanggup membeli tiket. Maka dari itu kami masuk melalui celah tembok. Kami luput dari pengawasan petugas tersebut. Kami menaiki kereta di atas gerbongnya, biarpun licin, Cong dan aku tetap nekad menaikinya.
*
Kereta mulai berjalan. Sudah diputuskan kami akan turun di statsiun Cikudapateuh. Selama perjalanan, tiba-tiba saja sinar muka Cong berubah, biarpun wajahnya masih menyungging senyum. Seketika aku merasakan perasaan tak enak berkelebat di dalam hatiku.
Baru beberapa menit kereta berjalan di atas rel baja hitam yang dingin membeku, namun kereta berhenti mendadak dengan suara menekuk tajam. Kami tersentak kaget. Tiba-tiba Cong tergelincir dari atap kereta yang licin. Aku segera menggapai tangannya, namun lepas. Ia terjatuh dan menghantam rel yang bersebrangan di depanku. Aku merasakan perasaan khawatir yang amat sangat pada Cong. Tanpa kuketahui, tiba-tiba saja Cong terbaring layu, matanya tertutup, wajahnya perih dengan suara yang melirih. Wajahnya pucat pasi namun bisa kulihat wajahnya perih. Sementara kereta ekspres dari arah berlawanan bergerak cepat.
“Coooooooooong!!!”
“Coooooooooong!!!”
Kereta selesai melintas. Aku terus menjerit parau memeras langit. Aku berteriak padanya, tapi ia masih tergeletak. Jeritku serasa payah, segera aku turun untuk menolongnya, tapi terlambat, kuda besi itu telah menggilasnya, usus Cong terburai, tubuhnya terkoyak dan hancur sama sekali, dilindas roda besi.
Aku segera mendekati tubuh Cong yang dikerumuni orang-orang. Jeritanku menggema ditelan dinding jantungnya yang sepi, kugengam tangannya yang hancur. Dingin. Cong saudaraku satu-satunya di dunia ini, mati mengenaskan. Perih. Lirih dalam sepotong wajah mati tersenyum. Tiba-tiba saja dalam jerit tangisku yang panjang perasaanku bergulung, aku teringat perkataan Cong sewaktu kecil dulu: “Din? Apakah di surga ada sekolah?”*
Diwana Fikri Aghniya, Siswa SMAN 15 Bandung Jawa Barat
 
Leave a comment Posted by noeph pada 9 Mei 2011 in Cerpen Indonesia
 

cerpen

MENEMBUS PENJARA KATA

Oleh Primadita Herdiani
Mengapa dunia membisu padaku? Tak bisa kudengar derai hujan atau desah angin. Tak tahu seperti apa dengung kumbang yang mengelilingi bunga-bunga. Atau derik serangga malam hari. Benarkah mereka bersuara seperti yang diceritakan ayah atau didongengkan ibu. Kicau burung hanya ada dalam gerak mulut orang tuaku. Pastinya seperti apa tak kupahami. Suara ayah ibu pun entah seperti apa.
Apa ibu memanggil namaku dengan lembut? Apa tawa ayah keras atau pelan. Aku hanya melihat bibir ibu bergerak menipis lalu terbuka. Saat itulah aku paham ia sedang memanggil namaku. Dan tawa ayah hanya kupahami lewat baris giginya yang terlihat.  Yang pasti ayah selalu tersenyum bila memanggil namaku.
Aku melihat alam selalu bergerak dalam kesunyian. Kala hujan deras disertai angin melanda halaman rumah. Ranting-ranting terlihat patah, pohon bergoyang tumbang. Daun berserakan diacak angin yang tak peduli arah. Namun dalam gerak alam yang sedahsyat itu tak kudengar apa  pun. Bahkan petir pun hanya sebuah kilatan cahaya di langit yang tetap saja sepi.
Sejak awal hidup tak dapat kudengar apapun. Aku hanya melihat gambar bisu. Seperti film kuno yang hanya dipenuhi gerak tak bermakna. Tak kumengerti dunia. Tak kupahami kata orang tuaku. Tak dapat kusampaikan keinginanku. Aku terpenjara ketidak sempurnaan indera.
Keadaan yang tak pernah diduga orang tuaku. Sejak aku bergelung melengkung dalam rahim. Ayah ibu selalu berdoa untuk kebaikanku. Sebab aku adalah anak pertama yang sangat dinantikan. Ibu telah merawat kehamilannya dengan benar. Tak ada yang terlewat. Makanan sehat penuh gizi. Vitamin lengkap yang diresepkan bidan. Hingga jamu paling pahit pun diminum ibu. Semua demi aku. Buah hati yang begitu dirindukan. Ketika mengandungku, kuyakin ibu telah melakukan semua yang terbaik. Lalu kenapa aku terlahir begini?
Padahal begitu lama ayah ibu menantikanku. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Banyak yang telah diupayakan untuk mendapatkan keturunan. Tanpa lelah ayah ibu berusaha keras demi kehadiranku ke dunia. Tengah malam ayah ibu melantunkan doa khusus, memohon anak dari Sang Kuasa. Pagi setelah sarapan ibu rutin minum obat penyubur kandungan. Ayah berpantang makanan yang dipercaya menghambat pembuahan. Begitu sempurna semua upaya. Tapi setelah lahir, aku tak sesuai harapan. Aku bayi yang tak lengkap.
Mereka pasti kecewa dengan kekuranganku. Tapi mereka begitu tegar dengan masalahku yang tanpa pemecahan. Sabar menerima keadaanku. Tak pernah sekalipun mengeluh. Nrimo dan tak saling menyalahkan. Bukan bibit ayah yang jelek atau rahim ibu yang buruk. Keduanya justru semakin merapat kompak. Sepakat untuk mengatasi kekuranganku. Tidak dengan cara yang aneh atau tak masuk akal. Tidak pula dengan menyembunyikan kecacatanku. Berdua bahu membahu demi aku.
Setelah sekian lama bekerja keras demi kelahiranku, ayah ibu harus kembali bekerja keras untuk menaklukan  cacatku. Perjuangan yang tak putus. Panjang sepanjang hidupku selanjutnya. Bisa dibilang setiap tarikan nafasku adalah kerja keras ayah ibu. Menyulutkan api di dadaku. Agar aku memiliki semangat dan dapat tegak berdiri di atas kedua kaki. Kurang tak berarti hilang. Aku ada dan berusaha mencatatkan diri pada dunia, walau dengan segala cacatku. Itu yang terus ditanamkan ayah ibu di dalam mentalku.
Sekali lagi beribu cara dilakukan. Segala informasi yang tak mudah ditemukan pun dicari. Dokter ahli hingga pengobatan alternatif di lereng gunung didatangi. Semuanya untuk kesempurnaan inderaku. Walau tak ada cacatan pasti tentang segala daya upaya orang tuaku. Yang pasti kutahu mereka menyayangiku. Mencintaiku, sejak aku masih berupa janin tanpa ingatan dalam rendaman ketuban.
Sesungguhnya aku sendiri pun tak mau lahir dalam keadaan ini. Jujur aku pun sangat kecewa ketika sadar pada keadaanku. Namun melihat semangat ibu, kegigihan ayah menyembuhkanku. Aku pun tak mau melemah. Kutakut mereka akan lebih terluka lagi. Punya anak cacat yang cengeng pula. Sering kutahan airmata demi menyenangkan mereka. Padahal sedang sangat sedih karena menginginkan sesuatu tapi tak ada yang mengerti mauku. Aku menjadi pendiam dan sangat pasif. Kadang juga marah-marah tak karuan.
Kubanting gelas untuk mengatakan ‘tidak mau minum jus itu, aku ingin susu’. Kurobek baju baru yang ibu belikan buat menyampaikan ‘aku tak mau pakai, warnanya tak suka’. Aku pun pernah menangis seharian hanya karena menginginkan permen coklat dari warung sebelah. Aku menggerakkan tanganku dengan kacau, menunjuk-nunjuk ke luar. Tapi ayah ibu tetap tak mengerti. Aku mengamuk. Melonjak-loncak tak karuan. Membantingi barang-barang. Menggedor pintu, jendela. Menggebrak meja kursi yang sedang ibu duduki. Ibu menggeleng, ayah mengangkat bahu. Menjengkelkan! Betapa sulit menginginkan sebutir permen saja.
Sakit sekali hati  rasanya. Sulit sekali mendapat hal kecil yang bagi anak lain tinggal berucap satu kata saja. Permen! Tapi untukku memerlukan banyak energi. Menguras batin kedua orang tuaku. Aku sedih. Semua serba berbatas. Seperti berada dalam toples kaca. Tertutup rapat kedap suara. Aku melihat segalanya namun tak mendengar apa-apa. Ayah ibu hanya bisa memandang dari balik kaca. Sambil terus berusaha memahami semuanya. Kemurungan mulai melanda. Aku putus asa.
Ayah ibu tanggap dengan kondisi psikisku, setelah konsultasi dengan banyak orang. Psikolog hingga orang tua lain yang memiliki anak sepertiku. Perlahan mereka mulai menemukan cara untuk berkomunikasi. Aku diajari cara memegang pensil dan bolpoin.  Ayah menggambar kue, es krim, atau permen. Kutunjuk salah satunya. Lalu aku belajar menggambar benda-benda. Kami bergantian menggambar. Ibu memberikan pensil warna. Untuk memudahkan memilih sesuatu yang berwarna. Pilih gambar kaos merah atau kuning? Aku mengacungkan pensil merah. Esoknya ibu membelikanku t-shirt merah dengan gambar bunga-bunga. Aku melompat kegirangan. Kali ini tak salah. Tepat seperti yang kuinginkan!
Aku mulai merasa nyaman dan tenang. Kebesaran hati dan keikhlasan ayah ibu benar-benar membuatku ingin maju. Tanpa jeda yang berarti, terus diajarkan cara paling aman untuh menempuh hidup yang berbeda ini. agar dapat kuraih kesempatan yang sama dengan anak lain yang normal. Aku mulai belajar untuk bertahan hidup dengan segala kelemahanku. Aku berdamai dengan kecacatanku.
Kukira tak seorang pun di dunia mau terlahir dalam keadaan tunarungu. Tak juga aku.
Dengan saraf telinga yang lumpuh sejak lahir. Tak bereaksi pada denting spatula yang diketuk dekat daun telinga. Lidahku menjadi bodoh. Tak mampu mengucapkan kata karena tak kudengar apa-apa. Lidah hanya menjadi alat bantu bagi mulut untuk mengunyah dan mencerap rasa tanpa bisa menyebut rasa. Asin manis hanya ada dalam pikiranku. Terkunci oleh kebisuanku.
*
Lalu tibalah suatu masa yang mengubah segalanya. Ibu pindah kerja ke luar kota. Seminggu sekali pulangnya. Ayah tugas belajar ke luar negeri. Dua tahun lamanya. Aku dititipkan pada eyang. Eyang kakung paling perhatian padaku. Aku cucu yang selalu di istimewakan. Dari beliaulah aku belajar menangkap makna kata. Eyanglah yang dengan setia mengajari teknik baru berkomunikasi. Beliau sangat kreatif. Banyak media yang digunakan. Selembar koran bekas pun bisa menjadi alat. Eyang memperlihatkan gambar-gambar di atasnya. Aku tak perlu menggambar sendiri. Tinggal tunjuk saja. Lebih cepat dan praktis. Apalagi semakin besar makin banyak keinginanku.
Tak cuma permen, es krim atau roti. Yang mudah digambar. Aku menginginkan apel, jeruk, atau jambu. Semuanya berbentuk bulat. Gambarnya hampir sama. Sering menimbulkan salah paham.  Pernah kugambar semangka,  eyang putri membelikan melon. Aku tak menangis tapi tak juga mau memakannya. Eyang kakung mengguntingi gambar-gambar dari koran atau majalah lalu menempelkannya di buku tulis. Kubawa buku itu ke mana-mana. Supaya mudah  menunjukkan keinginanku.
Setelah cukup umur aku masuk SLB. Diajari membaca, menulis dan berbicara. Betapa terkejutnya aku ketika kusentuh tenggorokan bu guru. Lehernya bergetar ketika membuka mulut. Aku tak pernah tahu bahwa leher bisa bergetar seperti itu ketika membuka mulut. Dan aku pun menirukannya. Berulang-ulang hingga ia mengacungkan jempol pertanda benar dan tepat. Vokal pertama yang lancar kuucap adalah “ee…”.
“Je-ruk.” Di tunjuk gambar jeruk di dalam  buku di hadapanku. Mulutku mengikuti gerak mulutnya dari cermin di hadapan kami berdua. Tak lupa menyentuhkan tanganku di lehernya untuk merasakan resonansi yang pas. Aku juga belajar bahasa isyarat. Secara khusus eyang kakung ikut mempelajarinya, agar mudah berkomunikasi denganku.
Di rumah eyang memberi buku-buku. Setiap menjelang tidur eyang membuka-buka buku penuh gambar warna-warni di tempat tidur. Menjelaskan padaku dengan bahasa isyarat. Mengajakku membaca dongeng-dongeng indah sampai selesai. Tak ada satu kalimat terlewat. Kisah-kisah yang kemudian berlanjut menjadi mimpi indah dalam tidurku.
Ulang tahunku yang kesepuluh bertepatan dengan kepulangan ayah dari luar negeri. Ia sudah selesai kuliah. Gelar di belakang namanya bertambah. Oh, bangganya aku pada ayah. Selain oleh-oleh, ayah memberiku hadiah sebuah benda yang asing. Warnanya merah mengkilap, warna yang kusuka. Seperti buku benda itu bisa dibuka di tengah. Ada banyak tombol penuh huruf di dalamnya. Ayah menancapkan kabelnya lalu benda itu pun menyala. Pada  layar muncul gambar kartun lucu yang kusuka. Aku tersenyum senang. Lalu ayah memencet beberapa tombol.
“Selamat ulang tahun Fiezza.” Benda itu berbicara padaku. Layarnya berkata-kata. Aku diam sesaat. Ayah membimbing jari-jariku memencet huruf-huruf.
“Nama saya Fiezza.” Itulah kalimat pertama yang kutuliskan. Ibu memelukku. Eyang kakung mencium keningku. Eyang putri bersorak senang. Hari itu hari terindah untukku.
“Hari ini Fiezza ulang tahun, ayah kasih hadiah laptop. Supaya Fiezza bisa menulis apa saja yang ingin disampaikan” Begitu tulisan yang tertera di layar. Aku mulai mengerti. Benda ini akan menjadi jembatan  untuk berkomunikasi. Setelah itu ayah mengajariku fungsi-fungsi laptop. Aku senang sekali. Aku menuliskan banyak kata. Sudah lama aku ingin bercerita. Mengomentari rambut nenek misalnya. Atau berkeluh ketika diganggu teman.
Tak hanya itu saja hadiah yang kuterima. Ada benda lain yang berkabel juga, yang menjadi hadiah utama. Dibungkus dalam kotak kecil berpita. Sama seperti sebelumnya aku pun asing dengan alat itu. Ibu memasukkan ujungnya ke telinga kiriku. Ujung lain kira kira sebesar kotak korek api disematkan di bajuku. Lalu eyang kakung menempelkan headphone pada telinga yang dipasangi alat. Apa yang kurasakan setelah itu tak kan pernah kulupakan selamanya. Ini adalah sejarah penting dalam hidupku.
“Selamat ulang tahun Fiezzaaa…!” lalu ada gelak tawa. Oh seperti itukah suara tawa? Saking terkejutnya headphone sampai jatuh kutepis. Aku kaget ketika pertama kali mendengar suara. Aku menatap ayah ibu dengan bingung.
“Itu Mbak Indah dan Dik Dini. Sepupumu di Lampung.” Ayah menjelaskan lewat laptop. Setelah itu aku merasa gendang telingaku berdengung. Banyak suara yang masuk tiba-tiba. Kulepas alat itu. Sepi seketika. Kupasang lagi. Riuh berikutnya. Aku menatap ayah.
“Panggil Fiezza.” Kataku. Bisa kudengar suaraku sendiri.
“Fiezza sayang.” Sambil dielus kepalaku. Oh seperti itukah suara panggilan ayah. Ini kali pertama setelah satu dasa warsa. Panggilan ayah yang hanya bisa kulihat dalam gerak bibir dan senyumnya. Lengkap kumengerti. Lembutnya sampai ke dalam hati. Bagaimana dengan ibu? Eyang kakung, dan eyang putri? Satu persatu kuminta mereka berbicara. Apa saja. Aku sangat ingin tahu suara mereka.
Betapa merdu nyanyian ibu ketika mandi. Aku sering ikut menyanyi bila kebetulan lewat kamar mandi. Lucu sekali suara batuk eyang kakung. Betapa cerewetnya nenek menawar bayam pada tukang sayur. Televisi, radio, bahkan kompor gas menjadi bernyawa. Semua berbicara. Bisa kudengar kini desis api yang menyembur dari kompor menyala. Dunia tak lagi sunyi. Debur ombak, hujan, riuh angin menjadi biasa di telingaku. Daya tangkap dan pemahamanku meningkat seiring runtuhnya dinding kaca yang memenjarakanku dalam kebisuan kata-kata.
Sejak itu laptop menjadi sahabat utamaku. Dan alat bantu pendengaran adalah  pengganti inderaku yang hilang. Banyak waktu kuhabiskan untuk bermain game atau menonton film. Internet menjadi jendela untuk membuka pikiran. Berlama-lama berselancar di dunia maya untuk menambah pengetahuan. Semuanya menjadi menyenangkan. Aku bisa asyik berjam-jam mengobrol dengan teman di ujung dunia lain. Saling bertukar cerita tentang negeri masing-masing. Membagi banyak pengalaman hidup. Mereka menyatakan salut,  ketika mereka tahu aku seorang tuna rungu.
“Excelent! You are so smart!” komentar Chaty, sahabat dari Australia. Dalam jaringan pertemanan kami. Lama-lama aku jadi bisa berbahasa Inggris. Dibimbing ayah tentunya. Pengalaman belajar di luar negeri membuat ayah lancar berbahasa Inggris. Bertambah satu  lagi  ilmuku.
Tak hanya itu yang kulakukan dengan laptopku tercinta. Kutuliskan mimpi, cita-cita, khayalan dan kenangan. Kucatat hari-hariku. Kegiatan, pendapat, pemikiran, apa saja yang bisa kutulis. Kadang aku berkisah tentang peri kecil ajaib yang hidup di semak belukar. Pernah juga tentang kesedihanku melihat padi siap panen yang terendam banjir. Ujung bulirnya mengapung lalu kemudian membusuk. Kasihan petani gagal panen menderita banyak kerugian. Bagaimana caranya makan atau menyekolahkan anak-anak mereka? Berhari-hari aku merenungkannya. Kusampaikan catatanku pada eyang kakung. Eyang senang sekali membacanya. Tekun dibaca sambil mengangguk- angguk.
Suatu hari eyang mengirimkan sebuah catatan tentang impian masa depanku, pada majalah ibu kota. Dan dimuat! Bayangkan seluruh negeri membaca tulisanku. Ayah ibu bangga padaku. Api itu telah menyala. Berkobar penuh semangat di dadaku. Telah berhasil kudobrak penjara kata-kata. Kutembus tempurung yang mengungkung pikranku. Tak pernah kudengar suara dengan sempurna tapi kumengerti tiap pertanda. Bisa kusampaikan apa pun pada dunia. Dan alam menorehkan semuanya dalam huruf-huruf penuh makna. Aku boleh terlahir tak sempurna tapi aku selalu istimewa. *
Primadita Herdiani, Siswi SMU Hidayatulloh Semarang Jawa Tengah
 
Leave a comment Posted by noeph pada 9 Mei 2011 in Cerpen Indonesia
 

cerpen

CATATAN HARIAN INANG

Oleh Keke Taruli Aritonang
Senin, 17 Juli 1991
Aku tersentak kaget…begitu aku di kamar mandi tadi pagi. Mengapa aku tidak juga datang bulan? Harusnya dari kemarin aku sudah datang bulan. Hamilkah aku?..ah tidak mungkin akukan sudah menggunakan alat kontrasepsi. Hari ini pikiranku tidak konsentrasi dalam mengajar. Murid-muridku  aku biarkan bersenda gurau dan berteriak-teriak di kelas. Pulang sekolah aku membeli alat tes kehamilan yang harganya paling murah. Tiba di rumah aku langsung ke kamar mandi dan menampung air seniku. Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi juga. Alat tes itu menunjukkan tanda merah dua garis tebal. Kepalaku rasanya mau pecah memikirkan ini, bagaimana ini, apa yang harus aku perbuat? Jangan sampai suamiku tahu akan hal ini. Aku  tidak ingin janin ini bercokol di perutku! Besok aku akan ke dokter.
Selasa, 18 Juli 1991
Sepulang dari sekolah aku ke dokter kandungan langgananku. kedua anakku kutitipkan pada opungnya dan kukatakan pada mamaku bahwa aku ada kerjaan. beruntung suamiku Minggu depan baru pulang dari mengarungi samudra. Dia lebih memilih ke laut  daripada  mengurus kedua buah hatinya dan pasangan hidupnya. “Dok, bagaimana ini kok saya bisa hamil lagi, padahal dokterkan yang memasang spiral itu”. Tanyaku langsung pada dokter langgananku. “Kasus seperti ibu sudah biasa terjadi, ini tidak apa-apa, terserah ibu, janin ini mau diteruskan atau tidak? Jika ibu tidak menginginkan janin ini, ibu saya kasih surat pengantar untuk mengaborsi janin ini ke dokter teman saya”, begitu jawaban dokter yang telah memasang spiral di tubuhku.
Tubuhku gemetar membaca catatan harian inang. Bukankah ini berarti, yang ada dalam perut inang pada saat itu adalah aku? Karena tanggal tersebut.. dan aku anak terakhir inang. Benarkah itu aku? Anak siapa sebenarnya aku ini? Aku menahan rasa marah, kecewa, sedih, dan penasaran. “Aku benci…. inang!” dan rasanya ingin menumpahkan rasa benci  itu,  ke inang yang sedang terbaring dalam kesakitannya. Ternyata aku anak yang tidak diharapkan oleh inang, ketika aku masih berupa gumpalan darah bernyawa. Aku memang tidak sengaja, menemukan catatat harian inang yang tergeletak di tumpukan baju-bajunya, pada saat aku mau membawa baju-baju itu ke rumah sakit.
Aku tak percaya akan apa yang kubaca. Selama ini inang kukenal sebagai wanita yang sangat tangguh dalam mengurus  aku, ito perempuan, dan abangku, tanpa didampingi oleh seorang suami yang telah lama meninggalkannya. Inang selalu tabah, sabar, dan sangat menyayangi kami bertiga sebagai anak-anaknya, walaupun kami terkadang membuat inang sedih dan jengkel. Inang telah membawa kedua anaknya menjadi orang yang dikatakan berhasil dalam mengarungi hidup. ito perempuanku kini menjadi dokter anak di Papua, sedangkan abangku menjadi penginjil keliling yang cukup terkenal sekaligus juga sebagai penulis sastra Kristen. Untuk mencari tambahan biaya hidup, inang juga dikenal sebagai penulis. Inang sering dimintai tolong oleh yayasan-yayasan sosial untuk dibuatkan buku sejarah berdirinya yayasan tersebut. Inang dengan ikhlas menulis buku itu dengan bayaran seadanya.
Aku sebagai anak bungsu sekaligus anak kesayangan inang, masih terdaftar di sekolah tingkat SMA kelas XII dan diharapkan inang dapat menjadi guru seperti dirinya. Padahal aku ini anak laki-lakinya. Dan jarang sekali orang tua mengharapkan cita-cita dari anak laki-lakinya untuk menjadi guru. Tetapi inangku, ini lain dari yang lainnya. Dia tetap bersikeras untuk aku nantinya menjadi guru. Kata Inangku, “Kau harapanku satu-satunya Nak, jadilah guru, kau itu paling pandai diantara kedua anakku yang lainnya, kau selalu rangking satu mulai dari SD sampai saat ini”. Itulah yang selalu dikatakan inang pada saat menjelang aku tidur.  Padahal sejak kecil aku sudah memiliki cita-cita menjadi pelaut, seperti suami inang yang tak pernah aku kenal.
Kata Inang, sejak aku dalam kandungan, kapal amang tak pernah lagi mendarat. Menurut cerita yang beredar yang pernah kudengar dari tante, tulang, dan ua, kapal amang tenggelam dan tubuh amang tak pernah diketemukan. tetapi, ada juga yang bicara padaku amang pulang kekampung halamannya di Nagahuta, kembali ke rumah orangtuanya. Jika hal ini, kutanyakan pada inang, dengan sedih inangku menjawab “Anakku, berdoalah selalu semoga amangmu masih hidup dan suatu saat nanti dia akan pulang untuk bertemu denganmu”.  Jawaban itu terus yang  aku dapatkan dari inangku. Lama-kelamaan aku tak pernah bertanya lagi. Sebab aku pernah melihat inang membaca surat, air matanya mengalir sangat deras, dan bahunya terguncang hebat.
Kenangan akan inang sesaat ada dipikiranku. Sudah saatnya aku harus ke rumah sakit membawa baju-baju dan menjaga inang malam ini. Aku harus menghilangkan rasa kecewa, penasaran, benci, dan ingin menumpahkan kemarahanku pada inang. Sebab kata doker inang tak lama lagi dapat bertahan hidup, akibat kanker payudara yang sudah stadium akhir. Apa yang harus aku lakukan setiba di rumah sakit? Aku tidak dapat menutupi wajahku dengan pura-pura tidak terjadi apa-apa, bagaimana ini? Pergikah aku ke rumah sakit? Atau kutelepon abangku supaya dia yang menjaga malam ini? Sementara ito perempuanku baru tiba esok hari? Kalau aku telepon abang,  pasti aku kena marah dan seribu kata nasihat akan keluar dari bibirnya.
Tiba-tiba hatiku diliputi perasaan yang tidak nyaman dan asing. kring…..kring….kring, Aku tersentak kaget mendengar suara telepon dari ruang tamu. “Hallo, jawabku cepat. Bisa bicara dengan Saudara Togar? “Ya, saya sendiri. “Kami dari rumah sakit, harap Saudara segera datang ke rumah sakit”. “Baik. Pak, saya segera ke sana”. Kututup telepon dengan cepat dan aku langsung meleset ke halaman depan rumah, menaiki motorku dan membawanya sekencang-kencangnya. Aku tak ingin, inangku pergi sebelum menjelaskan apa yang ada di catatan hariannya.
Tiba di rumah sakit, abang, itoku perempuan, opung boru dan doli dari pihak inangku, tante, inang tua, tulang dan entah siapa lagi  aku tak kenal, mengerumuni tempat  inangku berbaring. Semua menangis. Begitu melihatku, Ito perempuan dan abang langsung memelukku sambil menangis, tanpa berkata-kata. Aku hanya diam terpaku. Sementara opung boru meraung-raung sambil bicara tak beraturan.  Kedua tangannya bolak-balik menyentuh tubuh inangku mulai  dari kepala sampai kaki inangku. “Oh.. boruku, boasa ho parjolo mate? Boasa dang ahu parjolo? (Anak perempuanku, kenapa kamu duluan mati, kenapa tidak aku yang mati duluan).  “Boruku,  ditinggalhonho dakdanakmu na so muli dope?” (Anak perempuanku, kau tinggalkan anak-anakmu yang belum menikah). “Ise na mandongani halakhi anon, molo halakhi muli, among na pe so diboto tudia lao?” (siapa yang mendampingi mereka kelak, jika mereka menikah, sementara bapaknya tidak tahu ke mana rimbanya). Itulah kata-kata opung yang masih kudengar.
Selebihnya, aku tak mendengar lagi suara-suara tangis dan ocehan panjang opung boruku. Tiba-tiba aku berada di sebuah ruangan yang begitu terang-benderang. Inang memakai gaun panjang putih, wajahnya berseri-seri, tidak nampak kesakitan yang selama ini dialaminya. Kulihat inang melambai-lambaikan tangannya ke arahku, aku berlari  menjumpai inang, tapi kakiku tak dapat digerakkan, tubuhku tiba-tiba kaku. Inang mendekatiku, lalu dia berkata dengan suara lembutnya,
“Anakku Togar, janganlah kamu marah dan benci lagi pada inangmu ini, aku tak bermaksud melenyapkanmu ketika kau masih berupa gumpalan darah bernyawa. Kau adalah sumber kekuatanku ketika amangmu pergi begitu saja meninggalkan inangmu dan anak-anaknya. Kau juga sumber inspirasiku ketika aku hendak membuat karya tulis. Satu lagi pesanku kepadamu Togar HASIANKU, janganlah kau dendam dan benci terhadap amangmu, maafkan dia. Dan inang hilang begitu saja, sebelum aku sempat bertanya, mengapa dulu inang tidak menginginkan aku dan di mana laki-laki yang telah meninggalkan inang.
Suara ribut-ribut, terdengar lagi. Mataku terbuka, aku  berada di tempat tidur yang serba putih dan tidak ada siapa-siapa. Telingaku mendengar, opung boru, berteriak mengusir seseorang, “Laho ho! Unang ho bereng boruku! Alai ho borukon hatop mate!” (pergi kau! Jangan lihat anak perempuanku! Gara-gara kau, anak perempuanku cepat mati)”. Lalu aku bangkit dan keluar, ingin melihat siapa yang diusir oleh opung boru. Makian opung boru tak terdengar lagi, begitu melihat aku. Orang-orang yang hadir tiba-tiba menatapku dengan heran, ada yang berbisik-bisik sambil mengarahkan pandangannya ke arahku.
Tulangku memegang laki-laki yang nampaknya baru mau masuk dan keluar lagi, lalu membawanya masuk kembali. Opung boru mulai marah-marah lagi, “Boasa paloasonmu masuk bawa na mambahen mate borungkon”(kenapa kau suruh masuk laki-laki yang telah membuat boruku mati). “Hohomma ho inong, ibotongkon do na manuru au paboahon jala ingkon boanongkon laenontuson, molo dong monding ibana”. (Diamlah ibu, si kakak yang menyuruh aku untuk memberitahukan dan membawa suaminya, jika kakak sudah meninggal) Tulangku menjawab dengan tegas.
Di wajah laki-laki itu nampak kesedihan yang amat dalam, nampak gagah walaupun sudah tua, dan….wajahnya mengapa mirip denganku? Jangan-jangan…ini lelaki yang telah meninggalkan inang. Aku tak sempat lagi berpikir. Ito dan abangku, langsung memapahku untuk duduk di dekat peti inang. Aku duduk di tengah-tengah kakak dan itoku, tangan kanan dan kiriku dipegang erat-erat oleh kedua kakakku, mereka nampaknya takut jika aku mengamuk pada laki-laki yang dibawa oleh tulang. Aku hanya diam terpaku memandang wajah laki-laki itu. Inang terbaring dengan tenang dan ada senyuman di sana. Aku menahan air mataku untuk tidak tumpah. Suasana menjadi tegang, acara ibadah tutup peti terhenti sebentar. Kemudian tulang, menyuruh pembawa acara untuk memulai kembali.
Ibadah tutup peti dilanjutkan kembali. “Mandok hata sian pihak keluarga na ditinggalhonna” (kata sambutan dari pihak keluarga yang ditinggalkan). Tulangku berdiri di samping laki-laki yang tadi dibawanya. Lalu dengan suara sendu dia berkata, “Ibotongku si Risma on tubu tanggal 1 Bulan Maret Taon 1959 jala monding tepat ari hatutubuna 1 Maret 2009, pas umurna 50 taon. Ditingki ngolum, ibotongkon sada jolma na tohom, nabenget, nanunut mula ulaon jala ndang hea holsoan, nang pe naung sappuluh taon ibotongkon manaon sahit kanker payudara jala laengku nanihaholonganna lao songoni maninggalhon ibana. Salain mangajar, ibotongkon pe sahalak penulis do, asa boi pasikkolahan beberengku na toluon. Tingki so monding adong do tonani ibotongkon asa jumpanganku suamina (laekku), jala boanonku tuson. Nungnga disalpuhon ibotongkon sude kesalahanni laekku sian roham. Jala tonana tu keluarga besar Hutagalung asa memaafhon sude kesalahanni laekku. Tarlobi tu beregku na tuloon asa olo nasida manjangkon bapakna molo mate au ninna. Tu hamu sude nahuhaholongi hami, adong do pe sada nai pangidoanni ibotongkon ima asa jahahonongku catatan harianna na sinuratna saleleng ngoluna. Ima nani tujuhonna ti si Togar anak haholongani rohana. Lungon situtu do nian rohakku laho manjahahon on, alai demi ibotongku na hu haholongion hujahahonma, songononma isinya :
(Kakakku,  Risma lahir pada tanggal 1 Maret 1959  dan meninggal tepat pada tanggal kelahirannya 1 Maret 2009 diusia 50 tahun. Semasa hidupnya kakak adalah wanita yang tegar, pekerja keras, tidak pernah mengeluh, walaupun dia sudah 10 tahun terakhir mengidap penyakit kanker payudara dan suami yang dicintainya pergi begitu saja meninggalkannya. Selain mengajar, kakak juga sebagai penulis agar dapat menyekolahkan tiga anak-anaknya. Sebelum kakak meninggal, dia berpesan pada saya untuk menjumpai suaminya dan membawanya ke mari. Dia sudah memaafkan kesalahan suaminya. Kakak juga berpesan untuk keluarga besar Hutagalung mau dengan ikhlas memaafkan perbuataan suaminya. Juga terutama kepada tiga anaknya mau memaafkan dan menerima kembali bapaknya jika saya meninggal. Saudara-saudara sekalian, ada lagi satu permintaanya yaitu untuk membacakan catatan hariannya yang ditulis selama hidupnya. Catatan harian ini terutama ditujukan untuk anak yang paling disayanginya yaitu Togar. Sebenarnya saya sedih  untuk membacakannya, tetapi demi kakak tercinta saya akan membacakannya, demikian isinya:
Rabu,  4 Agustus 1991
Suamiku tak  kunjung datang. Aku kembali ke dokter memeriksa kandunganku. Usia kandunganku sudah masuk minggu kedua. Minggu yang cukup kuat untuk mencabut alat kontrasepsi  yang bercokol didinding rahimku agar  janin ketigaku tidak terganggu. Tetapi aku tidak jadi mencabut alat kontrasepsi itu, sebab menurut dokter ada dua kemungkinan risiko yang akan ditanggung. Kemungkinan pertama, janin akan gugur. kedua, janin tetap bertahan tapi mengalami kerusakan bisa lahir cacat atau nantinya juga gugur. Kedua kemungkinan itu sama beratnya. Aku memilih tetap mempertahankan janin dengan alat kontrasepsi yang tetap menempel di dinding rahimku. Aku akan membuat kejutan pada suamiku kelak jika kapalnya telah menepi.
Sabtu, 23 Februari 1992
Hampir setahun sudah suamiku tak pulang, seminggu lagi rencana akan operasi. Akan pulangkah lelaki yang telah menanam benihnya ditubuhku ini?Aku membayangkan wajah lelaki pujaanku ketika melihat kelahiran anak ketiganya.
Minggu, 24 Februari 1992
Aku menerima surat dari suamiku, ada firasat yang tidak enak ketika kuterima surat ini.“Kekasihku, maafkan saya. Saya telah berkhianat terhadap dirimu dan anak-anak kita. Waktu itu, salah satu penumpang  wanita  ingin mencoba bunuh diri dan aku berhasil mencegahnya. Sayangnya saya terlarut dalam kesedihaannya, dia saya hibur, dan saya tak sadar telah melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Dia hamil dan saya harus bertanggung jawab. Minggu depan wanita itu akan melahirkan. Saya ingat komitmen kita pada saat menikah dulu, jika salah satu ada yang berselingkuh, maka tidak akan dimaafkan dan berarti itu satu kata cerai”. Tetapi ingat saya tidak akan bercerai dan tetap mencintaimu sampai kapan pun juga, walaupun saya telah berkhianat”.
Aku tak sadarkan diri selama satu minggu. Dan begitu sadar bayiku sudah berada di samping tempat tidurku. Dia lahir pada tanggal 1 Maret 1992. Tanggal yang sama dengan kelahiran anak dari suamiku yang kini telah menjadi milik wanita lain dan juga tanggal yang sama dengan ulang tahunku.
Senin, 7 Maret 1992
Aku sudah boleh pulang dari rumah sakit. Aku mencoba tegar untuk menjalani hidup tanpa suami dan selama ini sebenarnya sudah terlatih. Setahun dua atau tiga  kali suami baru dapat pulang. Beruntung aku bertempat tinggal berdekatan dengan orang tua serta saudara-saudaraku. Anak ketigaku ini kuberi nama TOGAR yang artinya tegar. Wajahnya persis sekali dengan amangnya tidak ada satu pun yang dibuang.
Jumat, 20 Agustus 2000
Hari wisuda boru pertamaku, Aku bersyukur pada Tuhan boruku jadi dokter. Dia katanya mau PTT di Papua dan kemungkinan besar akan menetap di sana. Togar usianya sudah delapan tahun, anakku ini semankin gagah saja. Semoga kau mau jadi guru ya, Nak.
Sabtu, 18 Juli 2003
Hari wisuda anakku nomor dua, Aku bersyukur dia tamat dari S2 Teologi, anakku ini lebih memilih berkeliling dunia untuk menginjili. Bakat menulisnya turun dari aku. Dia juga rajin menulis buku-buku rohani. Anakku Togar kini usianya 11 tahun, nanti kelak kau jadi guru ya?
Sabtu, 2 April 2008
Dokter memvonis aku terkena kanker payudara stadium empat. Jangan sampai anak-anakku tahu. Togar anak kesayanganku kini usianya 16 tahun, dia sudah mau kubujuk untuk jadi guru.
Minggu, 27 April 2008
Suamiku, diam-diam datang menemuiku pada saat Togar tak ada di rumah. Dia terlihat sangat tua sekali. Aku sudah dapat memaafkan perbuatannya. Mungkin karena waktuku tak akan lama lagi di dunia ini. Semoga anak-anakku juga dapat memaafkan perbuataan amangnya.
Sabtu, 1 Maret 2008
Togar berumur 17 tahun, tubuhnya semakin tinggi, wajahnya menunjukkan kekerasan hatinya. Aku takut dia tak dapat memaafkan perbuataan amangnya. Di hari ulang tahun Togar kedua anakku mengirim email. Imelda dan Binsar telah bertemu amangnya dan memaafkannya. Aku terharu akan apa yang telah dilakukan oleh kedua anakku. Aku bangga pada mereka. Kini tiba waktunya aku akan meninggalkan mereka.
Minggu, 10 Januari 2009
Waktuku tinggal sebentar lagi, aku akan minta mama untuk mengawasi anakku Togar, aku akan tinggal di rumah sakit. Catatan harian ini akan kuberikan pada adikku Saut, tulang dari anak-anakku, untuk membacakannya ketika waktuku sudah habis. Dan aku akan meminta Saut memberitahukan dan membawa laki-laki yang dulu pernah memberikan kehangatan dan kenyamanan sesaat, laki-laki yang sampai sekarang masih aku cintai. Biarlah dia ikut serta dalam mengantar istri yang paling dicintainya untuk menghadap Bapa di Surga.
Ruangan dipenuhi suara tangis yang menyayat hati. Semua orang yang berada di situ tidak ada satu pun yang tidak menangis, ketika catatan harian inang dibacakan. Opung boru pingsan dan laki-laki yang berdiri di samping tulang jantungnya berhenti berdenyut. Sedangkan aku berusaha untuk tetap berdiri tegar.*
Keke Taruli Aritonang, Guru SMPK 1 BPK Penabur  Jakarta
Catatan
Tulang : Paman
Inang : ibu
Inang uda : adik perempuan dari ibu
Inang tua : kakak perempuan dari ibu
Opung boru : nenek
Opung doli : Kakek
Tante : panggilan untuk adik perempuan dari ibu yang belum menikah
Ua : singakatan dari inang tua
Boru : anak perempuan
Ito : panggilan untuk saudara baik laki-laki atau perempuan
Amang : Bapak
Hasianku : kesayanganku
 
Leave a comment Posted by noeph pada 9 Mei 2011 in Cerpen Indonesia
 

cerpen

BALADA SEPATU

Oleh Menar Rizie GH
Aku seorang sepatu. Yang di beli oleh wanita waktu aku baru lahir dulu. Setiap sepatu dilahirkan sepasang,  kiri dan  kanan. Bagai sisi dua mata uang, kami tak dapat dipisahkan. Bila  salah satu dari kami rusak, yang lain akan menyusul. Bila yang satu hilang, yang lain mungkin dibuang.
Ketika sampai di rumah baru, aku punya banyak kawan, Sang Meja lampu, Pak Rak buku. dengan sigap aku berkenalan. “Hei, namaku Sepatu!”
Yang aku heran, mereka sangat bersahabat. Bercerita tentang kesenangannya menghuni rumah. Apalagi pak Rak buku, dia bangga menjadi tempat berteduhnya ilmu. Banyak buku tinggal di sana, banyak ilmu yang dia tahu. Ada buku metafisika, atau ada juga tentang reaksi kimia. Dia menceritakannya satu persatu, memperkenalkan buku-buku itu padaku. Aku senang, kini aku punya banyak teman.
Lainnya dengan pak Rak buku, sang Meja lampu berwajah sendu. Ketika kutanyakan mengapa, dia bilang tidak tahu. Lalu pak Rak buku menjelaskan padaku, bahwa sang Meja lampu sedang rindu.
Rupanya Sang Meja lampu, jatuh cinta pada Lampu terawang. Tapi sang Meja lampu tak mau mengaku. Mungkin karena Lampu terawang begitu angkuh. Lehernya tinggi menjulang, tak mungkin menunduk melihat meja lampu. Kepalanya yang bercahaya membuat Lampu terawang terang, bagai bintang, gemilang. Itu sebabnya Sang Meja lampu tak mau mengaku, tapi Pak Rak buku tetap tahu, karena dia punya banyak ilmu. Dari ilmu fisika sampai kimia saja bisa, kalau ilmu tentang jatuh cinta, pasti biasa saja. Aku tersenyum geli mendengarnya, cuma dalam hati saja. Karena kalau aku tertawa, pasti sang Meja lampu akan menderita. Lalu aku menengadah ke atas, Lampu terawang begitu gemilang. Anggun. Pantas saja sang meja lampu tak mau mengaku. Mungkin karena malu.
Satu hari berlalu, aku tak merasa jenuh, karena aku punya banyak teman baru. Aku tertawa, aku gembira, aku bahagia. Aku merasa beruntung, tak seperti Sang Meja lampu. Karena aku selalu berdua, aku tak bisa dipisah. Sini aku beri tahu. Bagai manusia, aku juga punya belahan jiwa. Dia selalu ada, kami selalu berdua. Dialah sepatu kiri, sepatu putih yang menjadi pujaan hati.
Kata Rak buku, aku punya majikan, seorang manusia. Anak muda. Yang aku heran,  majikan tak pernah terlihat. Lagipula yang membeliku bukan anak muda, dia wanita tua. Lalu siapa yang akan ku panggil tuan? Anak muda atau wanita tua?
Ah ya sudahlah.
Saat malam tiba, saatnya aku melepas lelah. Melepas tawa yang dibuat kawanku bersama. Ya jelas, aku memang bahagia.
Tapi baru aku menutup mata, sepatu kiri sudah tak ada. Ku longok kebawah ku kira jatuh, tapi tak kudengar sepatu kiri berteriak mengaduh.
Aku adukan pada Rak buku juga Meja lampu. Mereka bilang tidak tahu.
Aku gelisah, aku kecewa. Mungkin gara-gara tadi terlalu banyak tertawa. Aku jadi ingat pesan mama. Kata Mama jangan terlalu banyak tawa, nanti bisa hilang arah.
Kini aku kehilangan belahan jiwa.
Esok paginya kuberanikan diri bertanya Lampu terawang. Meskipun angkuh, aku tahu dia kan iba. Tak kusangka, dia tak menjelaskan apa-apa. Hanya berkata, kau akan tahu jika tiba saatnya. Aku merasa tak berguna, bagiku hidup sia-sia saja. Sudah kubilang, aku bagai dua sisi mata uang. Selalu berasamaan, selalu bersisian. Tak dapat dipisahkan.
Bila aku sendiri? Ya jelas sudah aku jadi tak berguna. Bagaimana aku bisa mempertanggung jawabkan pada majikan?
Lebih baik mati saja.
Aku tak berguna hidup di dunia, sudah kupikirkan aku seharusnya memang tak pernah lahir di muka bumi ini. Aku sudah mencoba berbagai cara untuk berguna, tapi semuanya sia-sia. Sejak aku ada, aku sangat berharga tapi sekarang, malah tak berguna. Sekarang saatnya aku mencoba hal yang kupikirkan detik-detik ini, ya aku lebih baik mati.
Sebelum mati, setidaknya aku mau perkenalan diri. Walau hidup tidak berguna, aku tak mau mati sia-sia. Aku mau mati yang indah, yang diingat seluruh dunia. Aku punya nama, jadi aku mau yang lain tau dan mengenalnya.
Namaku Sepatu baru.
Sebenarnya sampai sekarang aku masih baru, karena majikanku belum pernah memakaiku. Aku sepatu mahal, sengaja dibuat oleh tangan-tangan handal.  Tangan itu menjahitku perlahan, dengan benang kuat ia mengikat erat supaya jahitanku tak lepas. Tak ada sisa benang kasar menempel disisian alasku. Tangan handal yang menjahitku, melabeli aku dengan warna abu-abu, warna kesukaanku. Aku tercipta sempurna, seperti sepatu mahal yang ditukar dengan banyak uang. Sesekali pernah aku dipamerkan di televisi, di pajang agar ada orang yang beli. Lalu wanita setengah  baya itu membeli, menukar setumpuk uang lembaran dengan kardus yang berisi aku. Ia menentengku kantung plastik berwarna putih biru, berjalan keluar dari area toko itu, melenggangkan pinggulnya yang tak lagi semuda 20 tahun lalu. Wanita berambut keriting berwarna kelabu telah membeliku.
Kini aku berdiri di lantai tertinggi bangunan ini, mencoba untuk terjun bunuh diri. Tapi aku tak bisa mati, aku malah terpelanting tinggi. Aku baru ingat, aku sepatu mahal, makanya aku dibuat untuk kebal. Walau aku jatuh dari gedung tinggi aku tak akan mati.
Kucoba untuk mati yang lain, aku kini memutilasi  diri, tidak dengan pisau belati. Tapi lagi-lagi, aku tak bisa mati. Aku sepatu mahal, pasti manusia yang membuatku sungguh handal. Entah dari dari kulit sapi, atau getah kayu jati, yang pasti aku tak bisa memotong diri.
Kali ini aku mau mati yang indah, meminum racun serangga. Seperti gaya matinya artis ibukota saja. Dua botol sudah kutuangkan, tapi aku tak mati-mati juga, lalu aku ingat, aku sepatu mahal. Cuma racun serangga saja mungkin hanya membuat noda, tak sampai meracuni hatiku. Duh sungguh tak berharganya diriku, sampai mati saja aku tak mampu.
Mungkin Tuhan yang tak inginkanku mati.
Tapi aku harus mati, karena untuk apa aku hidup?
Bukan tak mau menghargai hidup, tapi aku tak bisa. Aku harus berdua. Karena bila sendiri aku tak bisa. Sudah kubilang aku diciptakan berdua, selalu bersama, sepasang, sejiwa. Kini sepatu kiri menghilang, tanpa alasan, tanpa sebuah kata salam.
Aku putus asa.
Untuk kesekian hari aku mencari belahan hati, tak bisa kutemukan juga. Lalu untuk ke sekian hari berganti siang, sang tuan datang, aku tercengang. Bercampur baur rasa hatiku, senang bertemu majikan baru. Tapi aku tercengang bukan karena senang. Yang membuatku terharu, ternyata majikanku cuma berkaki satu. Ia berjalan, dengan tiang besi sebagai penyangga. Tertatih langkahnya menahan badannya. Wajahnya terlihat letih, seolah ia berjalan kaki selama 3 hari. Tapi raut muka nya bahagia tak terkira.
Sesaat aku terdiam termanggu, Rak buku menegurku. Ternyata dia tahu tentang sejarah majikanku. Katanya dulu majikanku pemain bola. Pujaan wanita, andalan negara. Lalu sesuatu terjadi padanya. Ketika ia sedang berlatih, tiba-tiba dia tak sadarkan diri. Tak jelas dan tak tahu pasti, dia pergi dengan matisuri. Ternyata eh  ternyata, dia sudah sekian lama menderita. Kakinya sudah tak bisa digerakkan lagi, lebih parah mesti diamputasi. Padahal sebentar lagi kompetisi. Kata dokter yang memeriksa, ada kanker di tulangnya. Bisa sangat berbahaya bila tak dipenggal kakinya. Sang majikan tahu nyawa taruhannya. Tapi sebagai bintang bola, kaki adalah masa depannya.
Entah berapa cara yang dia gunakan untuk meneguhkan hati, yang pasti akhirnya kaki diamputasi. Itulah sedikit sejarah majikanku. Yang tak pernah kupedulikan sampai detik ini.
sampai akhirnya aku tahu, Tuhan memang yang Maha Tahu.
Tuhan mengirimku, untuk membantu. Menolong kakinya yang cuma satu.
Kini aku tahu mengapa sepatu kiri pergi. Bukan Tuhan benci, tapi justru ia Maha Pengasih. Ia ingin aku menemani, sang majikan yang berbesar diri. Walaupun sang Tuan pernah hampir mati, atau setidaknya pernah ingin mati, ia tetap mempersiapkan diri untuk hidup hari ini, bukan untuk mati.
Aku sungguh malu, ingin mati hanya karena sendu. Aku kini tahu, selalu ada alasan untuk hidup, walau sendiri, tanpa sepatu kiri, tanpa kaki kiri, tanpa belahan hati. Oh…inikah cinta tak harus memiliki?
Kini aku bersenang hati, karena aku bangga jadi alas kaki seorang tuanku yang berkaki satu. Aku tahu, suatu saat akan mati, tapi setidaknya aku mati dengan bangga, mati dengan bahagia, mati karena berguna.*
Menar Rizie GH, tinggal di Tangerang
 
Leave a comment Posted by noeph pada 9 Mei 2011 in Cerpen Indonesia
 

Cerpen

THE ROCKER GOES TO SINDEN

Oleh Amelia Indraswari
Ki Dalang Mangunkusumo telah menghabiskan lebih dari separo hidupnya untuk mengabdikan kecintaan sekaligus keprihatinannya terhadap semakin memudarnya kebudayaan asli bangsa Indonesia itu. Tak pernah sedikitpun ia berharap bahwa publik mengingat dan mengagung-agungkan namanya sebagai seorang pelestari kebudayaan Jawa.
Ia hanyalah orang desa berpikiran sederhana yang menggunakan semua uang warisan peninggalan kedua orang tuanya untuk membangun Padhepokan Bodronoyo ini. Di saat orang hanya berpikir tentang uang, uang, dan uang, ia berani mengambil jalan lain yang tidak mudah. Padhepokan ini memang tak pernah memberinya kekayaan, tetapi senyum tulus yang dilihat setiap kali melihat murid-murid memainkan gamelan, wayang ataupun menari, itu telah membuatnya bahagia. Asalkan banyak orang datang dan bergabung di Padhepokan, itu sudah membuat ia merasa ingin hidup 1000 tahun lagi walau harapan itu dari hari ke hari semakin terpupuskan.
*
Ki Dalang meraba wayang Srikandi yang dulu sering ia pentaskan dengan lakon Srikandi Meguru Manah. Pria tua ini tiba-tiba terbatuk keras sekali sehingga ia harus menutup mulutnya dengan tangan namun buru-buru dimasukannya tangan itu ke dalam saku celana tatkala menyadari ada sesosok gadis berambut panjang yang berjalan ke arahnya.
“Wajah Bapak pucat sekali. Bapak lagi gerah, nggih?”
“Sri, Bapak berharap banyak padamu…” Ki Dalang tidak menjawab pertanyaan Srikandi.
Srikandi mendesah. “Tapi Sri juga punya mimpi, Pak. Mas Punto, Mas Bimo sama Mas Dewo juga nggak ada yang mau meneruskan Padhepokan ini, lantas kenapa harus Sri, Pak?”
“Orang itu mencintai seni, Sri, sehingga mau melakukan apa pun demi kecintaannya dan Bapak ndak mungkin mewariskan Padhepokan ini kepada orang lain. Kakang-kakangmu ndak ada yang peduli lagi sama nasib Padhepokan ini. Wis, sesuk siap-siap. Saiki turunen.”
“Pak, besok Sri ada lomba band. Uangnya juga lumayan kalau menang. Sri nggak bisa nyinden lagi karena Sri nggak suka.”
“Bapak ngerti, dadi seniman itu ndak bisa memberi uang yang banyak, tur sapa lagi yang bisa diharapkan jadi pewaris kebudayaan Jogja. Bapak ki prihatin Wong Londo seneng sinau gamelan, tapi orang-orang Jogja asli malah ndak mau dan gaya-gayaan seperti orang bule. Zaman cen wis edan. Apa-apa tertukar. Lagu-lagu asing itu yang membuat kamu ndak mau nyinden lagi, padahal jelas-jelas besok semua orang nunggu aksi kamu yang dulu terkenal sebagai seorang sinden cilik. Nduk, panggilan pementasan sudah ndak sesering dulu. Uangnya itu juga untuk nyangoni kamu ke Jakarta. Kalo ndak gitu, Bapak sudah ndak bisa kasih uang lagi. Bapak itu rela ndak makan demi kamu dan bapak cuma bisa berharap, kamu jadi orang sukses selepas SMA di Jakarta terus bisa mengangkat padhepokan ini jadi lebih maju.”
Srikandi buru-buru pergi untuk menyembunyikan air mata kekecewaannya dan Ki Dalang hanya bisa memandangi Srikandi yang telah beranjak dewasa sekarang dan selama itulah ia selalu menurut apa yang dikatakannya. Terkadang, ada gurat-gurat tertekan yang tergambar tetapi Ki Dalang membuang semua sangkaan itu. Ia selalu meyakinkan dalam hati bahwa apa yang dilakukannya mendatangkan kebaikan bagi Sang Anak. Perlahan, ia pun mengeluarkan foto Srikandi dari dalam kantong celananya. Ki Dalang berusaha membersihkan bercak merah yang menempel namun bercak itu terlanjur mengering.
*
“Anak perempuan itu ndak usah sekolah tinggi-tinggi, toh nanti balik ke dapur-dapur juga. Lulus SMA, kamu langsung nikah, ya? Bapak mau jodohkan kamu sama anaknya Pakdhe Harjo. Dia itu sahabat bapak. Dulu, kamu lahirnya sama seperti anaknya, terus Bapak dan Pakdhe Harjo sepakat menjodohkan kalian berdua. Makanya dia dikasih nama Arjuna sementara kamu Srikandi. Biar kalian bisa jadi suami-isteri seperti lakon Arjuna-Srikandi di pewayangan. Pakdhe Harjo itu pedagang sukses dan kamu mesthi sowan ke rumahnya yang megah kalau sudah sampai Jakarta. O ya, ini fotonya Juna. Dia juga sudah Bapak kasih foto kamu. Gagah tho?” ucap Bapak senang sembari menyerahkan foto Arjuna. Dada Srikandi naik turun menahan amarah kemudian pergi meninggalkan Ki Dalang sembari menarik foto Arjuna dengan kasar.
“Sri, mau kemana kamu?” Ki Dalang buru-buru mengejar Srikandi.
Srikandi tak menjawab. Ia menyobek-nyobek foto itu tanpa melihatnya terlebih dahulu.
*
Di depan juri dan ratusan penonton, Srikandi berusaha menyenandungkan lagu Ignorance seekspresif  mungkin namun ia terus teringat pada pementasan bapaknya. Antara kesal dan gelisah sebenarnya jika mengingat semua ini. Kesal, karena ia merasa tak tega meninggalkan bapak dan gelisah karena ia tak bisa berkonsentrasi pada penampilannya.
“Ndi, kamu kenapa, sih? Tone kamu banyak yang meleset, Kamu mau kita kalah apa?” bisik Wiwid ketika mereka semua turun panggung.
Sorry guys, aku nggak bermaksud seperti itu,” jawab Srikandi dengan tatapan sedih .”…kalian harus cari vokalis baru karena aku mau pindah ke Jakarta. Kabarin ya, kalo menang. Aku mau ke pementasan bapakku.”
Teman-teman Srikandi pun hanya bisa menatap iba kepergiannya. Tanpa diceritakan pun, mereka semua sudah tahu apa yang lagi harus dijalani secara terpaksa oleh gadis tomboy itu. Akhirnya, mereka hanya duduk terdiam sampai juri mengumumkan pemenang yang tidak menyebut nama grup mereka sama sekali.
*
“Pak,” Srikandi berdiri di depan Ki Dalang Mangunkusumo yang tertunduk lesu di belakang panggung. Ia menatap kaget ke arah anak gadisnya itu.
Bak sebuah metamorphosis, Srikandi- masih dengan nafas terengah-engah- telah mengganti kemeja Aerosmith-nya dengan kebaya, menghias wajahnya dengan make up tebal dan menata rambutnya dengan sanggul.
“Kesorean ya, Pak?” Srikandi bertanya sembari menarik kain jariknya sampai ke lutut. Ia sebenarnya benci sekali memakai rok atau kain.
Ki Dalang hanya menjawab dengan senyuman.
*
Hari yang dinanti-nanti Srikandi pun tiba. Di Jakarta, adik Ki Dalang yang bernama Bulik Tatik menyanggupi untuk menyekolahkan Srikandi sampai tamat SMA. Buliknya itu hidup menjanda dan tidak memiliki seorang anak pun. Ia merasa kasihan pada nasib Srikandi yang hendak dinikahkan cepat-cepat jika tidak bisa melanjutkan sekolah.
” Pak, Sri pamit nggih. Maaf kalau selama ini sering bicara kasar dan ndak nurut sama Bapak. Sri cuma pingin Bapak ngerti apa yang Sri mau.”
Ki Dalang menahan tangis mendengar perkataan putri kesayangannya itu. Ia tak mampu berkata apapun karena takut Srikandi melihat air matanya.
*
Tiga tahun kemudian…
Ki Dalang terpekur memandangi surat terakhir yang Srikandi kirimkan dua tahun lalu. Bahkan telepon dan sms juga jarang ditanggapi. Awal Srikandi ada di Jakarta, ia masih sering membalas surat-suratnya dan meneleponnya. Tetapi seiring waktu berlalu, hal itu sudah tak pernah dilakukannya lagi. Pulang kampung pun jarang. Ki Dalang cemas karena takut Srikandi berubah menjadi gadis pemberontak ketika kembali nanti.
Ki Dalang memegangi sakit di dadanya yang akhir-akhir ini semakin tak tertahankan. Ia perlahan-lahan bangkit, mengambil sebuah kertas dan pena, lalu menuliskan bait demi bait kata dengan penuh ketulusan.
Batuk kembali meradang dan tanpa sadar Ki Dalang memercikkan noda-noda merah ke atas kertas yang sedang ditulisnya namun  tiba-tiba Sadewo datang dengan wajah cemas. Ia hendak mengabarkan sesuatu tetapi tidak jadi karena Ki Dalang keburu pingsan.
*
“Jangan lupa suratnya dibaca ya, Sri. Mungkin ada hal penting,”
“Ahh, paling isinya cuma nyuruh nikah,” sahut Srikandi acuh tak acuh. Ia melempar surat itu ke tempat tidur.
“Sri, Bulik benar-benar nggak tahu Bapak mu akan bertindak seperti apa jika melihat kamu sekarang.” Setelah berkata demikian, Bulik Tatik meninggalkan Srikandi yang termangu di depan cermin. Benar, apa yang akan dikatakan bapak jika melihat dirinya sekarang? Rambutnya yang dulu lebat dan panjang terurai kini tanpa ragu ia potong sampai cepak seperti apa yang diinginkan dulu. Tak perlu lagi memakai rok, baju panjang, dan bertindak se-feminim mungkin. Sekarang pun ia sudah bekerja dan menabung untuk biaya kuliah. Tak ada lagi yang namanya terkurung dalam belenggu keinginan bapak.
Srikandi menarik nafas dalam-dalam. Ia melirik surat tadi dan ada satu perasaan yang menelisik relung sanubarinya untuk membaca surat itu namun ia terhenti. Sudah waktunya untuk bekerja malam ini dan ia memutuskan untuk membacanya setelah pulang nanti.
*
Brown Café, 21.30
Srikandi beristirahat di balik stage. Entah mengapa sedari tadi ia terus teringat pada surat bapaknya. Srikandi tanpa sadar pun melamun sambil memegangi gelas minumannya yang tak diteguknya sedikit pun.
“Srikandi?” tegur sebuah suara yang terdengar di”manis-manis”kan. Srikandi mendongak malas dan melihat seorang pria flamboyan yang menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Dia lagi…,” pikir Srikandi malas. Ia hendak beranjak.
“Sebentar, Cantik.” Laki-laki itu memegang tangan Srikandi erat sekali. Berusaha untuk sopan, Srikandi mencoba melepaskan tangannya pelan-pelan. “…saya mau balik ke stage,” jawab Srikandi kaku.
“Sebentar aja. Kamu bikin penasaran sih.” Pria itu memaksa dan Srikandi benar-benar tak bisa melepaskan tangannya. Ia kesal sekali karena lelaki genit ini memandangnya dengan tak sopan. Srikandi pun membuang wajahnya ke arah lain dan berharap pria itu bosan, lalu meninggalkannya.
“Hei, nggak usah sok mahal gitu deh.” Pria yang bahkan Srikandi tak tahu namanya itu pun, merayu sembari mengelus pahanya. Terang saja Srikandi marah dan menyiramkan isi minumannya ke wajah pria itu.
“Jangan kurang ajar sama saya. Saya bukan cewek gampangan!” Srikandi pun melemparkan gelas ke arah pria berusia 30 tahunan itu namun ia berhasil menghindar.
Tiba-tiba pemilik kafe datang dan bertanya dengan nada tinggi kepada Srikandi, namun belum sempat Srikandi menjawab, om-om genit itu sudah mendahului dengan berkata,” Srikandi gila, Pak. Saya baik-baik menawarinya minuman, tetapi dia malah melempar saya dengan gelas.”
Makian kasar berhamburan dari mulut Srikandi. Wajah pemilik kafe pun menjadi merah padam dan ia menyuruh Srikandi ke ruangannya.
“Maafkan penyanyi saya, Pak.” Pemilik kafe berkata dengan wajah menunduk- menahan malu. Laki-laki genit itupun berlalu cepat-cepat sembari menatap puas ke arah Srikandi.
*
Dengan kesal, Srikandi menghapus air matanya. Hari ini sungguh sial. Hatinya berbisik, apa mungkin  karena tuah surat-surat bapaknya yang tidak pernah ia baca? Kebanyakan perempuan mungkin bangga memperlihatkan tubuhnya dengan busana minim, tetapi dia yang mencoba untuk menjaga harga diri, malah diperlakukan secara tidak adil.
“Kamu dipecat,” ucap Bos Srikandi ketus.
“Tapi saya tidak salah, Pak. Laki-laki itu yang berbuat tidak sopan kepada saya!” tukas Srikandi nyaring.
“Saya tidak peduli siapa yang salah. Tetapi yang jelas, kamu sudah mencemarkan nama baik kafe ini dengan berbuat tidak sopan. Saya sebenarnya kasihan sama kamu. Masih SMA sudah pontang-panting cari uang. Kalau kamu mau diajak kencan, pasti kamu akan dapat uang lebih banyak. Ini uang gaji kamu bulan ini,” marah Si pemilik kafe sembari melempar berlembar uang seratus ribuan.
“Saya bukan pelacur, Pak. Bapak yang telah membuat saya seolah-olah menjadi wanita jalang dengan busana minim yang Bapak paksa saya untuk kenakan. Bapak sama saja seperti laki-laki itu yang hanya bisa menghargai wanita dari tubuhnya saja!”
“Heh, nggak usah sok suci kamu, ini Jakarta!” teriak mantan bosnya tapi Srikandi berjalan pergi tanpa menyentuh uang itu sedikitpun.
Srikandi kembali menghapus air matanya. Tak ada gunanya lagi menangis karena hanya akan menunjukkan bahwa ia lemah menghadapi semua masalah. Untuk pertama kalinya, Srikandi baru menyadari bahwa jerih payahnya tak berarti sama sekali. Saat ia terkantuk-kantuk di sekolah, membolos, nilai ulangan yang jatuh. Ini semua tentu tidak perlu terjadi jika ia menurut pada apa yang dikatakan bapaknya.
*
“Srikandi mau pulang pagi ini juga ke Jogja,” ujar Srikandi setelah bercerita singkat kepada Bulik Tatik tentang kesialannya malam ini.
“Kamu sebaiknya istirahat dulu ya apalagi baju kamu terbuka seperti ini. Nanti kamu bisa sakit,” ucap Bulik Tatik sambil mengelus pundak Srikandi yang sedingin es dan meninggalkannya untuk beristirahat.
Srikandi termangu di tepi tempat tidurnya selama beberapa saat, lalu ia melepas pakaiannya dengan kesal. Diambilnya gunting dan dirobek-robeknya pakaian itu hingga tak berbentuk lagi.
“Aku menyerah, Pak…” desah Srikandi sembari melepar gunting itu ke lantai.
*
Hari itu masih teramat pagi ketika Ki Dalang harus menemui tamu-tamu yang sama untuk kesekian kalinya. Wajahnya masam.
“Saya sudah bilang, mau kalian tawar seberapa besar pun tanah ini, tetap tidak akan saya jual! Saya lebih baik mati daripada tanah ini dijual kepada orang-orang berotak kapitalis seperti kalian. Saya tidak sudi tanah ini akan dibangun taman hiburan modern! Anak saya akan datang dan mengurus padhepokan ini menjadi lebih maju” Tanpa basa-basi lagi, ia berbicara dengan nada membentak dan meninggalkan mereka begitu saja.
“Baiklah, kami sudah mencoba berunding dengan jalan damai, tetapi Pak Mangun tetap tidak mau negosiasi. Bilang sama bapak kalian, harap sopan sama tamu. Kami itu sudah cukup sabar menghadapi orang tua kolot seperti dia.”
“Hei, jangan kurang ajar sama bapak saya,” sergah Sadewo marah tetapi ketiga laki-laki berjaket hitam tebal itu pergi tanpa menoleh lagi.
*
Ki Dalang Mangunkusumo mendekap foto Srikandi erat-erat. Tetes demi tetes air mata mulai membanjiri pipi. Tak kuat lagi paru-paru tuanya menghirup asap hitam yang kian menyelimuti ruangan. Ia hanya bisa menatap nanar ke arah kobaran api yang terus menjilat. Asap membubung tinggi- menyesakkan dada- namun ia tak bergeming. Ki Dalang terbatuk dengan keras, tak bisa berhenti. Darah pun menetes- mengenai foto Srikandi yang sebelumnya telah berlumur dengan bercak serupa. Ia benar-benar tak ingin keluar kamar karena teringat pada janjinya yang lebih baik mengharap kematian datang menjemputnya daripada harus meninggalkan tempat ini.
Api pun mulai menjilati tubuh tuanya.
*
“Bapaaaakk….” Srikandi terjaga dari tidurnya. Ia baru menyadari bahwa ini semua hanya mimpi. Teringat surat terakhir bapaknya yang membuat ia penasaran, Srikandi pun buru-buru mengeluarkannya. Surat itu begitu pendek dengan beberapa kata yang kabur karena tertutupi bercak-bercak merah. Isinya yang belum selesai membuatnya ingin segera bertemu Bapaknya untuk bertanya kelanjutan surat itu. Hatinya sungguh gelisah sehingga memaksakan diri naik kereta pagi ini juga walau kepalanya terasa pening.
*
Srikandi menatap nanar semua yang ada di depannya.
“Bapak mana … Bapak mana …”
“Sri …” Sadewo memeluk adiknya erat-erat. “… kamu yang kuat, ya. Bapak … Bapak … ndak sempat menyelamatkan diri.”
Tangis Srikandi meledak seketika. Mimpi itu semuanya benar. Semuanya.
*
“Polisi bilang ini perbuatan yang disengaja. Pasti ada kaitannya dengan pemborong itu.”
Bimo berbicara dengan nada marah di depan saudara-saudaranya yang lain, sementara Srikandi hanya terdiam. Air matanya masih menggenang di pelupuk mata walau hari ini adalah hari ketujuh tahlilan Ki Dalang.
“Pembunuh bapak itu ya Sri.” Dia berbicara lirih sekali, lalu meletakkan surat yang sedari tadi digenggamnya ke atas meja.
“Sri, kita semua disini ndak tahu bapak ternyata sakit kanker paru-paru stadium dua. Sehari setelah kebakaran, ada murid bapak yang menceritakan  semuanya. Dia yang mengantarkan bapak ke rumah sakit. Bapak ndak mau kita tahu karena takut kita jadi sedih. Bapak selalu memikirkan kita, tapi kita sendiri ndak pernah memikirkan bapak. Kita semua membunuh bapak pelan-pelan,” tukas Puntodewo muram.
“Asal kamu tahu, bapak bilang kalau dia lebih baik mati daripada jual tanah ini karena percaya kamu pasti menjalani kehidupan sesuai apa yang diminta. Tapi nyatanya, ndak kan Sri? Liat saja rambutmu sekarang. Kalau bapak masih hidup, dia pasti kecewa melihat anak yang paling diharapkannya menjadi seperti ini,” ucap Bimo menyudutkannya. Srikandi lalu pergi dan memilih untuk duduk menyendiri sembari membaca surat itu berulang-ulang.
“Sri, maaf ya, kalau aku baru bisa datang tahlilan sekarang.”
Srikandi menoleh,” Siapa, ya?”
Laki-laki itu kemudian duduk di sebelahnya. “Aku Arjuna dan aku mengenalimu dari foto yang Ki Dalang kirimkan padaku.”
Srikandi terdiam. Ia teringat foto Arjuna yang langsung disobek tanpa dilihatnya terlebih dahulu.
“Itu surat siapa, Sri? Kok banyak noda merahnya?”
“Surat dari bapak dan aku nggak pernah tahu kelanjutannya apa.”
“Boleh aku baca? Aku sudah tahu semuanya dari bapakku,” jawab Arjuna sembari mengambil surat itu dari tangan Srikandi. Ia mulai membaca.
Srikandi, anakku sayang.
Bapak ingin hidup 1000 tahun lagi tapi raga ini tentu saja tak mampu menahan jalannya takdir. Namun kau harus percaya bahwa asa yang tertempa di sanubari terdalam akan selalu menyala di jiwamu jika kau bergerak. Bila kau membaca surat ini di saat raga kita tak mungkin bersua lagi, kau bisa menemui Bapak dalam setiap angan yang kita rajut bersama. Aku tak pernah bermaksud mengekangmu, tetapi aku berusaha
Surat itu berakhir. Arjuna tersenyum dan berkata dengan nada lembut, “Bapakmu mengharapkanmu lebih dari yang kamu kira. Aku yakin, sekeras apa pun seorang ayah memperlakukan anaknya, di dalam hati yang terdalam, ia hanya ingin memberikan yang terbaik. Memang ego manusia itu adalah hal yang paling sulit ditaklukkan, Tapi kalau masing-masing mau mengerti, dinding tebal yang memisahkan kalian berdua pasti runtuh. Mungkin Pak Mangun sekarang sudah tidak bisa kamu temui secara nyata namun kamu bisa menemuinya di dalam setiap mimpi yang belum selesai ia bangun. Pak Mangun menitipkan semuanya di pundakmu karena ia percaya kamu mampu.”
Srikandi tersenyum. Ia memegang tangan Arjuna dan berkata,” Terima kasih. Terima kasih banyak untuk semuanya…”
EPILOG
12 tahun kemudian …
“Seni memang berkembang dan kita tidak bisa terus menerus dipaksa untuk menikmati seni tradisional tetapi juga bukan berarti kita tidak peduli lagi dengan warisan leluhur. Jika kekayaan bangsa dicuri, barulah kita marah dan menghujat, namun pernahkah kita memikirkan apa yang telah dilakukan untuk menjaganya? Tanggung jawab ini ada di pundak kita semua.”
Sekelumit pidato tersebut dikemukakan Srikandi di depan para tamu undangan saat perayaan hari jadi kota Yogyakarta. Ini belum terlambat untuk membangun mimpi-mimpi bapaknya dengan caranya sendiri. Ia menjadi pemerhati dan pendiri organisasi Pecinta Seni di Yogyakarta. Mementaskan pewayangan, datang ke sekolah untuk mengenalkan kesenian Yogyakarta, mengkombinasikan seni modern dan tradisional, serta sejuta kegiatan lain yang bahkan lebih dari apa yang bapaknya harapkan. Ia ingin menebus semua penyesalannya atas peristiwa kebakaran 12 tahun silam dan bahkan tak berniat untuk mengurusi pengadilan si pelaku yang nyatanya memang benar adalah pemborong dan anak buahnya itu. Srikandi hanya ingin membangun dinding-dinding angan bapaknya yang sempat ia hancurkan dulu.
Seusai pidato, Srikandi menemui Arjuna sembari tersenyum tulus,” Bapak ternyata tidak salah memilihkan jalan hidup untukku dan semua orang yang ada di dalamnya. Aku puas melakukan semua ini demi Bapak.”
Arjuna hanya tertawa karena dia tersanjung Srikandi merasa tak salah memilihnya.*
Amelia Indraswari, Mahasiswi Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta